Mohon tunggu...
asri supatmiati
asri supatmiati Mohon Tunggu... Editor - Penuli, peminat isu sosial, perempuan dan anak-anak

Jurnalis & kolumnis. Penulis 11 buku, 2 terbit juga di Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Tanpa Paspor #14

22 Agustus 2016   21:12 Diperbarui: 22 Agustus 2016   21:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena, manusia modern (dan ber-uang barangkali), rupanya juga tidak cukup punya satu negara. Contohnya Pak Beye itu, pernah bilang, Amerika Serikat adalah rumah keduanya. Pak Habibie juga, Jerman itu sudah seperti rumahnya sendiri. Entah, mereka berpaspor ganda atau tidak, saya tidak tahu. 

Yang jelas, alangkah enaknya kalau ke mana-mana itu tidak perlu birokrasi lebay. Jika perlu tanpa paspor, misalnya. Apalagi sampai ganda. Traveling, studi, berkarier, atau kerja di mana saja. Merantau, transmigrasi, mengungsi, mencari tanah kehidupan baru, suka-suka ke mana sajalah. Karena, seluruh tanah yang ia pijak miliknya. Tanah airnya. Satu kesatuan. Mau balik kampung lagi, mudik, juga bebas.

Hah, mana mungkin? Mungkin saja, kalau seluruh negara bisa bersatu dalam satu institusi. Satu negara. Satu rumah besar. Satu saudara. Emangnya bisa? Sejarah belum pernah, sih. Eh, mungkin pernah dunia tanpa paspor. Bukankah ketika dunia hanya dihuni Adam dan Hawa, jumlahnya cuma satu? 

Adam tentunya tak perlu paspor untuk berkeliling bertahun-tahun menemukan Hawa; setelah mereka terusir dari surga. Lalu Adam dan Hawa yang konon hidup selama 930 tahun setelah penciptaan (sekitar 3.760-2.830 SM), beranak-pinak melahirkan seluruh anak-cucu-cicit- hingga menjadi miliaran manusia sekarang. 

Well, jadi sejatinya seluruh manusia ini satu keluarga besar, bukan? Maka, seharusnya tinggal di satu rumah besar pula. Satu negara besar. Satu aturan besar. Tak ada yang mustahil. Lagipula, satu fakta lagi, bahwa dunia hampir seluruhnya menyatu, itu pernah terjadi. 

Dalam sejarah pernah tegak sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang wilayahnya sempat mencapai 2/3 dunia. Mesir, Arab Saudi, Irak, Iran, Turki, Spanyol, negara-negara bagian Rusia, bahkan kerajaan-kerajaan di Indonesia itu, pernah bersatu sebagai satu negara besar. 

Saya tidak berkhayal (meski belakangan ini sering baca novel fantasi). Sudah banyak sebenarnya yang meramalkan, dunia ini sedang berjalan dari nation states menuju stateless nation. Sekarang saja, sudah jutaan orangyang tak punya kewarganegaraan, meski mereka menginjak bumi. Seperti para pencari suaka, pengungsi atau korban perang yang terlunta-lunta itu.

Maka, kelak,negara-negara dengan batas-batas nasionalisme itu akan capek sendiri dengan aturan-aturan nation states yang mereka buat sendiri. Aturan yang selama ini juga banyak dilanggar sendiri. Akhirnya mereka akan mengamandemen sendiri (Seperti aturan soal paspor itu. Kok bisa ada WNI berpaspor ganda? Pasti ada aturan yang dilanggar, kan?)

Sekarang saja, berbagai hal yang menghambat hubungan dua atau beberapa negara sudah banyak yang dianulir. Entah melalui perundingan bilateral. Forumtingkat regional, level benua hingga internasional. 

Forum-forum itu sejatinya selalu membahas, bagaimana supaya hubungan antarnegara kian dekat. Kian mudah. Kian erat. Kian saling menguntungkan (walau faktanya, karena penguasa dunia adalah negara kapitalis, akhirnya watak penjajahan yang terjadi. Negara kecil dijajah melalui rekomendasi yang seolah-olah win-win solution). 

Nah, hasil akhir dari forum-forum itu antara lain penghapusan bea cukailah, penghapusan visalah, kemudahan investasilah, dll. Menipiskan sekat-sekat. Menghapus nasionalisme itu sendiri. Termasuk, orang juga semakin mudah menghapus nasionalisme di dadanya. Pindah kewarganegaraan lain, misalnya. Bahkan, orang-orang yang dicap paling nasionalis sekalipun, tanpa malu-malu begitu mudahnya “mengkhianati” tanah airnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun