Mohon tunggu...
Aspianor Sahbas
Aspianor Sahbas Mohon Tunggu... profesional -

alumni pascasarjana Jayabaya,bekerja di Indonesia Monitoring Political Economic Law and Culture for Humanity (IMPEACH)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

DPR Sudah Menjadi Seperti Diktator

7 September 2014   11:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:23 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DPR SEPERTI SUDAH MENJADI SEPERTI DIKTATOR

OLEH :ASPIANOR SAHBAS

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau disebut lembaga legislatif dalam teori trias politica, memiliki fungsi dan kewenangan untuk membuat undang-undang, melakukan kontrol terhadap eksekutif dalam menjalankan pemerintahan dan juga melakukan fungsi anggaran. Fungsi anggaran ini sesungguhnya lebih berorientasi pada instrumen pengawasan. Sebenarnya secara akademis DPR sebagai lembaga perwakilan juga memiliki fungsi refresentasi. Jadi sebenarnya DPR itu memiliki empat fungsi, yaitu; fungsi legislasi, pengawasan, anggaran dan refresentasi.

Selain fungsi yang dimilikinya DPR dalam menjalankan fungsi tersebut oleh konstitusi diberikan hak, yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.Hak ini merupakan hak DPR secara kelembagaan. Hak lain yang juga diberikan kepada DPR adalah hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, serta hak immunitas. Hak ini lebih berhubungan dengan hak perseorangan anggota DPR.

Tulisan ini tidak hendak mengupas lebih jauh mengenai fungsi dan hak-hak yang diberikan kepada DPR. Tetapi, tulisan ini hendak mengkritisi bagaimana akhir-akhir ini DPR mengelola fungsi-fungsi konstitusional yang diberikan kepadanya.

Seperti diketahui sejak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beberapa waktu yang lalu, partai-partai politik terbelah ke dalam dua kelompok akibat adanya perbedaan dukungan terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden. Ada partai yang mendukung Jokowi-JK, dan ada partai yang mendukung Prabowo-Hatta. Partai yang mendukung Prabowo-Hatta, kemudian menamakan diri sebagai koalisi merah putih.

Akibat adanya pembelahan kedua kelompok yang mendukung ini, di parlemen pun akhirnya terjadi pengelompokan berdasarkan konfigurasi kekuatan politik partai pendukung. Meskipun koalisi merah putih yang mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Hatta kalah dalam Pilpres, tetapi di parlemen koalisi merah putih adalah koalisi mayoritas. Karena merupakan koalisi mayoritas maka koalisi merah putih selalu menang dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi kedewanan seperti membuat undang-undang. Salah satu contoh yang paling konkrit adalah bagaimana koalisi merah putih mengoalkan RUU MPR,DPR.DPD dan DPRD (UU MD3), kemudian dalam menetapkan pimpinan Pansus pembuatan Tata Tertib DPR (Tatib).

Dominasi koalisi merah putih dalam membuat UU MD3 menghasilkan produk Undang-undang yang merugikan partai lain di luar koalisi mereah putih. Misalnya adanya pasal yang tidak lagi menempatkan partai pemenang pemilu sebagai pimpinan DPR. Walaupun dalam UU sebelumnya ketentuan tentang pimpinan DPR diperuntukan buat partai pemenang Pemilu.

Dalam konteks ini PDI-P sebagai partai pemenang pemilu, dengan adanya ketentuan tersebut hak untuk mendapatkan kursi pimpinan dewan menjadi hilang. Tidak ada penghargaan atau reward yang diberikan kepada partai pemenang yang memperoleh kepercayaan besar oleh rakyat.

Terhadap ketentuan UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3 ini termasuk mengenai pemenang pemilu yang tidak lagi berhak menempati kursi pimpinan dewan saat ini memang sedang dilakukan judicial review oleh PDI-P. Apakah bertentangan dengan konstitusi ataukah tidak. Kita tunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi.

Cara-cara koalisi merah putih dalam mengambil keputusan-keputusan di DPR berdasarkan suara mayoritas, mengesankan bahwa DPR sudah seperti diktator mayoritas.Mengabaikan aspirasi yang kualitatif dalam mekanisme pengambilan keputusan dapat membahayakan proses berdemokrasi ala Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila.

Selain itu jika proses pengambilan keputusan di DPR hanya berdasarkan suara mayoritas, maka dampaknya pun akan sangat luas. Partai-partai di luar koalisi merah putih tidak akan pernah mendapat jabatan pimpinan-pimpinan dewan seperti pimpinan komisi, dan pimpinan badan. Walhasil segala putusan dewan adalah bentuk diktator mayoritas yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam cara-cara berdemokrasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang berlandaskan ideologi Pancasila, DPR tidak boleh terjebak melakukan diktator mayoritas dalam mengambil proses-proses keputusan di dewan.

Hari ini dan di masa yang akan datang, dalam mengelola bangsa ini kita sangat membutuhkan persatuan dan kesatuan. Tidak pada tempatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini kita mengedepankan diktator mayoritas, ataupun tirani minoritas. Proses-proses dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara harus lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan. Budaya demokrasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa hendaknya kita buang jauh-jauh.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun