AHOK DAN AMBISI SYAHWAT KEKUASAAN
Oleh : Aspianor Sahbas
Ketika pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, Jokowi –Ahok yang diusung PDIP dan Partai Gerindra memenangkan pertarungan merebut kursi Gubernur dan Wakil Gubernur, saya adalah termasuk warga Jakarta yang mendukung kedua orang ini. Harapannya tentu saja di bawah kepemimpinan dua orang ini Jakarta bisa mejadi lebih baik.
Demikian juga, ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia, saya juga termasuk warga negara Indonesia yang secara penuh mendukung Jokowi-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dan sampai saat ini pun saya masih konsisten mendukung kepemimpinan Jokowi-JK untuk memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan harapan Indonesia dapat menjadi lebih baik dalam kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera.
Namun demikian, terhadap Basuki Tjahya Purnama alias Ahok setelah mencermati secara seksama, menggali informasi dari berbagai sumber, nurani saya berbicara bahwa Ahok bukanlah seorang pemimpin yang benar-benar ingin berjuang untuk kepentingan rakyat. Karena itu saya pun move on ---- berpindah ke lain hati untuk tidak mendukung Ahok sebagai Pemimpin DKI Jakarta.
Alasan saya untuk move on ini, sama sekali jauh dari alasan ideologis yang bernuansakan SARA. Saya memang orang Indonesia asli, saya memang seorang muslim, tetapi bukan karena alasan itu saya berpindah kelain hati untuk tidak mendukung Ahok. Bukan karena saya berbeda agama dan suku yang membuat saya tidak setuju dengan Ahok.
Dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengatakan bahwa ketidaksukaan saya dengan Ahok lebih pada pertimbangan dalam beberapa hal. Pertama, soal karakter kepemimpinan yang dia tunjukan kepada publik. Misalnya dalam hal anak buah yang dia pimpin, Ahok tidak segan-segan menunjukan kemarahannya kepada anak buah di hadapan publik. Sikapnya ini menunjukan atau mengesankan bahwa ia adalah orang yang paling berkuasa. Saya setuju-setuju saja sebagai pemimpin Ahok memarahi anak buahnya. Tapi tidak harus ditunjukan kepada publik dengan cara-cara yang tidak santun. Anak buah juga adalah manusia yang punya hati dan perasaan. Istilah anak muda sekarang, “Sakitnya Tu D sini.....”
Prilaku kepemimpinan Ahok yang semacam itu, berpotensi menjadikannya seorang pemimpin yang otoriter, apalagi kalau dia sudah memegang tampuk kekuasaan.
Kedua, kalau mencermati latar belakang karir politik Ahok. Ahok bukanlah tipikal seorang pejuang politik yang memegang teguh cita-cita perjuangan.
Seperti kita ketahui, Ahok pada awalnya adalah Kader Partai Indonesia Baru (PIB). Melalui partai inilah Ahok bisa terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur 2004 -2009. Karena ambisi kekuasaannya yang begitu kuat pada tahun 2005, Ahok kemudian berpasangan dengan Khairul Effendi, B.Sc. dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) ikut bertarung sebagai calon Bupati-Wakil Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Dan terpilih sebagai Bupati Belitung Timur. Namun tidak sampai tuntas menjadi Bupati selama lima tahun, hanya selama satu tahun tiga bulan saja, Ahok kemudian mengajukan pengunduran dirinya pada 11 Desember 2006 untuk maju dalam Pilgub Bangka Belitung 2007. Namun dalam pemilihan Gubernur Bangka Belitung tersebut Ahok dikalahkan oleh Eko Maulana Ali
Pada 22 Desember 2006, ia resmi menyerahkan jabatannya kepada wakilnya, Khairul Effendi. Keputusan mundur dan mewariskan posisi kepada wakil bupati ini di kemudian hari menjadi masalah karena Khairul Effendi memberikan testimmoni kekecewaannya kepada Basuki karena meninggalkan janji politik atas Belitung Timur tanpa menyelesaikannya.
Pada tahun 2009 Ahok berpindah haluan ke Partai Golkar. Melalui Partai Golkar, Ahok mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dan terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar Daerah Pemilihan Bangka Belitung 2009 -2014. Dan duduk di Komisi II DPR RI. Namun tidak sampai habis dari anggota DPR RI, Lagi-lagi karena kuatnya ambisi kekuasaan Ahok berpindah ke Partai Gerindra karena akan dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dipasangkan dengan Joko Widodo dari PDIP. Namun dalam perjalanannya, Joko Widodo yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dicalonkan sebagai Presiden RI oleh PDIP bersama partai koalisinya. Dan seperti kita ketahui Jokowi-JK yang kemudian berhadapan dengan Prabowo Subianto – Hatta Radjasa yang diusung Partai Gerindra dan partai koalisinya berhasil dikalahkan oleh Jokwi-JK.