Implikasi politik apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini ketika PDI-P dan Partai Gerindra pecah kongsi? Pertanyaan ini menjadi diskursus yang menarik untuk melihat konstelasi politik di DKI Jakarta. Karena kedua partai ini sebelumnya pernah berkoalisi menjadikan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sebelum kita menjawab pertanyaan dia atas, ada baiknya kita mencermati dinamika hubungan kedua partai politik tersebut.
Inilah adagium politik. Tidak ada kawan yang abadi, tidak ada lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Itulah gambaran yang bisa diberikan terhadap hubungan politik antara PDI-P dengan Partai Gerindra. Dulu kedua partai ini pernah bergandengan mesra dalam memperjuangkan kepentingan politiknya. Mereka bisa berjalan seiring, mendayaung bersama dalam satu perahu politik untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita politik mereka.
Gambaran kebersamaan itu setidaknya bisa terlihat ketika kedua partai politik itu bergabung untuk menghantarkan Megawati Soekarno Putri bersama Prabowo Subianto sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009. Walaupun pada akhirnya pasangan calon ini gagal meraih kemenangan untuk menjadi Presiden karena dikalahkan oleh pasangan calon Presiden lain, yaitu; Susilo Bambang Yudoyono dan Budiono.
Selain itu, yang masih lekat dalam ingatan kita bagaimana PDI-P dan Partai Gerindra bahu membahu mengusung pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pemilihan kepala daerah (Pemilukada) DKI Jakarta. Dan hasilnya sungguh sangat luar biasa pasangan calon yang diusung oleh PDI-P dan Partai Gerindra ini mampu mengalahkan pasangan incumbent Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli.Meskipun perjuangan untuk mengalahkan pasangan incumbent ini Jokowi-Ahok harus bertarung dalam dua putaran.
Namun apa hendak dikata, seiring berjalannya waktu, kemesraan yang pernah dibangun oleh kedua partai tersebut mengalami keretakan ketika menghadapi Pemilihan Presiden 2014. Relasi politik yang sudah dibangun selama ini tidak lagi seiring sejalan. Karena dalam Pemilu Presiden 2014, PDI-P mengambil jalan sendiri dengan mencalonkan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres 2014 ini. Sementara Partai Gerindra mencalonkan Ketua Dewan Pembina Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Rajasa Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dan seperti kita ketahui bersama, setelah melalui pertarungan sengit dan melelahkan pasangan yang diusung oleh PDI-P bersama mitra koalisi dari Partai NasDem, PKB, Partai Hanura dan PKPI pasangan Jokowi-JK berhasil memenangkan pertarungan akhir. Gugatan kubu Prabowo Subianto – Muhammad Hatta Rajasa ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengukuhkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum sebelumnya yang telah memenangkan Jokowi-JK.
Dalam konstelasi politik di DKI Jakarta, terpilihnya Jokowi sebagai Presiden mengharuskan Jokowi meninggalkan kursi jabatan Kepala Daerah/Gubernur DKI jakarta. Jabatan Kepala Daerah/Gubernur yang ditinggalkan tersebut sebagaimana peraturan perundang-undangan akan diisi oleh Wakil Kepala Daerah/Wakil Gubernur yang pada saat ini diduduki oleh Ahok. Masalah kemudian yang muncul adalah siapa yang akan menggantikan posisi Wakil Kepala Daerah/Wakil Gubernur yang mengalami kekosongan.
Dalam ketentuan undang-undang untuk mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Dari perspektif politik, perkara mengisi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah tidaklah menjadi persoalan manakala gabungan partai politik yang yang pernah mengusulkan masih bisa kompak seiring sejalan. Tetapi manakala gabungan partai politik yang pernah mengusulkan sudah pecah kongsi, disinilah akan timbul persoalan. Apakah masing-masing partai politik yang sebelumnya pernah bergabung dapat mengajukan calon masing-masing ataukah tidak? Pertanyaan lainnya yang mungkin muncul adalah apabila Wakil Kepala Daerah yang menggantikan posisi Kepala Daerah berasal dari salah satu partai, mungkinkah dua orang Wakil Kepala Daerah yang diusulkan untuk kemudian dipilih oleh DPRD berasal dari partai yang sama dengan Kepala Daerah.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah tidak mengatur hal tersebut. Hal ini membuka ruang penafsiran masing-masing pihak yang berkepentingan untuk mengusulkan calon masing-masing.
Dari sisi logika keseimbangan politik seyogyanya Wakil Kepala Daerah yang diusulkan harus berbeda dengan latar belakang partai politik Kepala Daerah yang ada. Hal ini dimaksudkan untu mengeliminasi ketegangan politik yang mungkin terjadi di antara dua partai yang sebelumnya pernah bergabung. Sehingga pada akhirnya pemerintahan juga dapat berjalan dengan baik. Ke depan tentu saja diperlukan revisi terhadap undang-undang yang mengatur tentang pengisian jabatan yang sumbernya dari gabungan partai politik. Apa yang terjadi di DKI Jakarta memberi pelajaran bahwa terjadinya pecah kongsi gabungan partai politik yang pernah mengusulkan menimbulkan problem politik yang dapat menimbulkan ketegangan sehingga bisa mengganggu jalanya pemerintahan.Termasuk juga jabatan yang lebih tinggi seperti pengisian jabatan Wakil Presiden jika Presiden berhalangan tetap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H