POLITIK ECERAN ATAU POLITIK GROSIRAN
Oleh : Aspianor Sahbas
Ada betulnya kalau berpolitik itu adalah seni. Seni erat hubungannya dengan keindahan. Karena ia sebagai suatu keindahan makan banyak yang suka menikmatinya. Politik selalu menimbulkan kejutan-kejutan yang mebuat orang bisa menjadi terperangah. Dalam politik bisa saja hari ini orang berkawan akrab, tetapi besok menjadi musuh. Inilah seninya dalam berpolitik.
Bagi orang yang tidak suka politik tentu menjadi alergi kalu harus ikut berpolitik. Sikap apolitis merupakan cermin orang yang alergi terhadap politik. Politik itu kotor, culas, sikut sana sikut sini, menghalalkan segala cara, menggunting dalam lipatan adalah praktek-praktek politik yang sering mebuat orang yang merasa punya integritas menjadi muak terhadap politik.
Namun demikian, suka atau tidak suka terhadap politik harus diakui melalui politiklah keputusan-keputusan bernegara diambil. Baik dan buruknya kehidupan bernegara akan sangat tergantung pada putusan politik yang diambil oleh elite-elit yang berada di lembaga politik. Tidak bisa dihindari karena dalam penataan kehidupan bernegara lembaga politiklah yang diberikan kewenangan untu menatanya.
Hari-hari terakhir ini kita diributkan dengan persoalan keinginan lembaga politik DPR yang akan memproduk undang-undang pemilihan kepala daerah. Salah satu point penting dalam undang-undang itu adalah mengembalikan model pemilihan kepala daerah seperti pada model pemerintahan orde baru. Pemilihan kepala daerah tidak lagi melibatkan rakyat secara langsung. Jadi, yang memilih kepala daerah seperti Gubernur, Bupati/Walikota cukup oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Terhadap keinginan DPR untuk mengubah cara pemilihan kepala daerah dengan cara tidak langsung ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang setuju banyak, yang tidak setuju juga banyak. Tentu yang setuju dengan yang tidak setuju masing-masing punya argumentasi. Baik argumentasi secara politik, hukum, sosiologis, manfaat dan mudharat, budaya dan lain sebagainya.
Salah satu sisi dari pandangan politik yang juga menarik untuk diungkapkan adalah memberikan perumpamaan politik dari model pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan tidak langsung. Siapa tahu ada manfaat yang bisa memberikan kontribusi bagi para anggota DPR yang sedang menggodok undang-undang ini.
Seperti halnya berdagang, berpolitik pun bisa dilakukan dengan cara-cara orang bedagang. Biasanya dalam berdagang ada orang yang membeli secara eceran, tapi ada juga yang membeli secara grosiran. Mereka yang membeli secara eceran biasanya adalah para pedagang yang tidak cukup punya banyak modal dalam berdagang. Berbeda dengan mereka yang punya banyak modal, biasanya mereka membelinya dengan cara grosiran.
Dikaitkan dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung dan tidak langsung maka yang sering menjadi persoalan adalah soal adanya money politic atau politik uang. Ada anggapan bahwa pilkada secara langsung sangat rentan dengan politik uang. Rakyat begitu gampang dibeli sekalipun dengan cara eceran dan harga yang murah. Tetapi cara ini menjadi tidak mudah karena “rakyat yang harus dibeli” jumlahnya banyak. Dengan jumlah rakyat yang banyak tentu saja calon Kepala Daerah harus mengeluarkan uang yang banyak dan harus turun langsung ke lapangan menemuinya. Atau dengan menggunakan tim suksesnya. Tapi paling tidak cara ini akan mendekatkan Kepala Daerah dengan rakyat yang memilihnya serta akan terjadi proses dialog yang dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dalam jangka panjang. Jadi, pemilihan secara langsung masih memberi keuntungan kepada rakyat.
Sementara pemilihan dengan cara tidak langsung yang harus “dibeli” adalah anggota DPRD. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Tapi harganya bisa jadi sangat mahal. Karena yang harus “dibeli” adalah para elit politik. Mereka tidak akan menjual dirinya dengan harga murah dan tidak akan bisa dibeli secara eceran.Cara ini juga akan membawa dampak yang panjang dikemudian hari. Seperti dipahami hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah memiliki keterhubungan dalam tugas. Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD bisa menjadi tersandera oleh kepentingan DPRD. Kepala Daerah merasa berhutang budi, DPRD merasa berjasa.Walhasil Kepala Daerah yang dipilih DPRD bisa menjadi ATM anggota DPRD.
Atas dasar itu, maka kita tinggal memilih apakah cara kita memilih Kepala Daerah dengan cara eceran atau grosiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H