Mohon tunggu...
Sony Waluyo
Sony Waluyo Mohon Tunggu... -

translator

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emosi sebagai Sensor Pemandu Arah Kebahagiaan Hidup

10 Agustus 2012   00:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:00 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344557299560959590

Sony H Waluyo, 10 Agustus 2012

Marah, kecewa, kawatir, curiga adalah tanda-tanda psikologis yang menunjukkan bahwa seseorang sedang dalam keadaan "terluka". Sebaliknya, jika seseorang mampu memaafkan dan memaklumi serta memberikan motivasi untuk kebijaksanaan hidup dengan senyuman adalah tanda-tanda kejiwaan yang sehat dan stabil secara spiritual.

Semua bentuk emosi adalah penting untuk dikuasai karena bermanfaat sebagai sensor “rasa kehidupan”. Kepekaan terhadap rasa kehidupan ini akan menjadi rambu-rambu arah perjalanan hidup. Jika seseorang merasakan bahwa hidupnya terasa berat atau penuh beban yang berulang, maka rasa emosi terbebani itu adalah sensor bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi. Sebaliknya, emosi bahagia menjadi penguat yang mendorong seseorang untuk kembali menciptakan pengalaman hidup serupa untuk kembali menikmati rasa bahagia tersebut.

Hidup bergelimang harta dan pesta tidak selalu menjamin terciptanya rasa emosi bahagia, karena jika banyak harta tetapi selalu kawatir hartanya dicuri orang atau dirampok, maka semua dan semakin banyak harta yang dimiliki hanya akan menjadikan beban hidupnya lebih berat. Sebaliknya, hidup serba pas-pasan juga belum tentu menjadi tanda kemiskinan dan penderitaan karena selalu ada orang yang serba kekurangan namun dengan suka cita berderma dari kekurangannya sehingga ia amat kaya raya dan berlimpah dengan kebahagiaan karena kemurahan hatinya.

Namun, bagaimanapun juga emosi-emosi seperti marah, kecewa dan curiga tersebut tetaplah suatu standar sensor kejiwaan yang bekerja secara normal. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa seringkali karena sudah terbiasa, kemarahan, kekecewaan dan kecurigaan yang meledak-ledak dianggap sebagai kewajaran, sehingga tidak disadari bahwa emosi yang berlebihan itu yang membuat hidup terasa sebagai penderitaan. Sebaliknya, orang bisa merasa gembira dapat berkumpul dan pesta sampai mabuk, namun tidak menyadari bahwa rasa mual dan badan kurang enak karena mabuk bukanlah hal menyenangkan sehingga juga bukan hal yang berbuah kebahagiaan.

Semua "rasa" emosi tersebut disediakan sebagai "rambu-rambu" untuk mengelola "kesehatan" spiritual. Setiap pengalaman hidup yang berbuah rasa yang kurang nyaman akan menjadi pendorong diri untuk mencari "jalan keluar" dari masalah itu jika terus terjadi berulang. Setiap pengalaman hidup akan menjadi asupan pembelajaran spiritual untuk semakin meningkat kesadarannya sejalan dengan kemahirannya menata hidup dengan cara semakin bijaksana.

Kepekaan terhadap rasa emosi akan muncul sebagai kecerdasan spiritual yang lebih sering disebut inspirasi atau intuisi yang mana akan "berbunyi" dan mengena pada sasaran jika seseorang "berada di situasi nyata" yang akan memperingatkan dirinya untuk menyingkir karena rasa tidak nyaman atau reaksi-reaksi spontan untuk memberikan tanggapan-tanggapan yang tepat dan bijaksana terhadap situasi yang dihadapi.

love&light...((()))...

** ** **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun