luka batin yang kali ini bagiku teramat sadis.  Pagi ini dua judul tulisan membuat hati terhempas, sedikit perih, mengingatkan kisah enam tahun yang lalu. Bagaimana berjuang untuk menyembuhkan
Terinspirasi dari tulisan  seseorang yang berjudul Sembuhkan Luka Batin dengan Memaafkan dan  Memanjakan Diri Bersama Pasangan Hidup.Â
 Berulang kali mencoba memaafkan, agar hati semakin plong, dan berusaha berkata pada diri,Â
" Kesalahan diri di masa lalu yang tanpa di sadari melukai hari orang lain, keluarga, bahkan sahabat, Allah memberi teguran sedemikian rupa agar kita menelaah kesalahan bukan mencari kambing hitam dari setiap kejadian yang kita alami."Â
Meminta pendapat dengan seorang ustad, apa yang mesti dilakukan ketika hal ini terjadi secara bertubi tubi, 26 tahun menjalani semua, berusaha legowo dengan apa yang di berikan. Hingga satu puncak di mana legowo hilang dari hati yang ada rasa kekecewaan yang teramat perih.Â
Mungkin kalau orang lain yang berkata mungkin bisa lebih diterima dan segera lebih legowo dan bersikap, " pastilah itu dia iri kita bisa gini dan begini," membesarkan hati sendiri atau yang berkata saudara kandung sendiri, mungkin hanya bilang ," pasti lagi kesel nih, hingga keluar kata kata itu,". Bagaimana pun dia kakak dan adik nggak ada yang bisa memutuskan  tali silaturahmi.Â
Kali ini terjadi, dengan orang yang kita anggap pengganti ibu sendiri, yang kita anggap semuanya bagian dari keluarga, karena papa pernah bilang,"nak, menikah itu bukan hanya pada anaknya saja tetapi semua keluarga,"
Bagaimana sebagai pendatang berusaha membuat hati orang nyaman dan senang. Berusaha melakukan hal yang terbaik walau terkadang tak di anggap.Â
Setahun, dua tahun terus berlanjut hingga menapak jejak yang ke 20 ternyata tidak ada perubahan masih tetap seperti itu. Haruskah dia mengalah, diam atau memberontak. Akhirnya tetap diam dan mengikuti permainan walau terasa perih.Â
Sepertinya Allah memberi puncak dari semua kejadian yang di lewati di tahun ke 21. Allah menunjukkan dari setiap kejadian yang mulai bercermin diri,.menelaah dari kejadian demi kejadian.Â
Hingga seorang ustad di Palembang yang bernama Ustad Hidayatullah yang kebetulan menyaksikan bagaimana perlakuan dia  terhadap merekaÂ