Secangkir kopi yang pernah kita hirup bersama tanpa rasa jengah untuk di bibir cangkir yang sama, tetap menikmati aroma dan nikmatnya.Â
Selalu mencari waktu untuk menikmati tanpa kita pernah berpikir bahwa kita harus punya batasan dalam segala hal terutama tentang cinta yang kita aduk dalam secangkir kopi.Â
Kita hanya menikmati tanpa menelusuri dari mana kopi itu dan bagaimana bisa diseduh dan kita nikmati yang ada di benak kita hanya menghirup bersama dalam cangkir yang sama.
Terkadang tangis bahkan tawa berderai jatuh dalam secangkir kopi yang membuatnya semakin menikmati tanpa disadari adalah kesalahan yang mesti kita benarkanÂ
Tiga purnama kita menikmatinya, sebagaimana anak anak menari di cahaya purnama yang bertaburan bintang bintang pelengkap malam.Â
Kau tertawa, kenapa tertawa? Biarkan aku tertawa sembari tetap memandang dan mengenang wajahmu yang tetap cantik bagai puluhan tahun yang laluÂ
Biarkan aku melumat bibirmu yang dulu sering aku gigit tak kalah kau manyun, Biarkan aku membayangkan kepasrahan dirimu ketika aku melepas tirai kedewasaan.Â
Tapi sebatas bayang yang mengikuti perjalanan cinta kita. Tanpa pernah mampu untuk melakukan, kau wanita suci bagiku.Â
Terkadang sesal kenapa tak aku lakukan sejak dahulu saat dia benar memberi dirinya . Pasti kini kau di dalam pelukanku, katamuÂ
Tak ingin memberi noda pada hati yang membawa untuk selalu mencinta. Setidaknya  melumat bibirnya yang ranum dan leher jenjangnya punyaku, itu kata dirimu.Â