pipimu tak kala menyapa di pintu pagar  dan wajah kaget mu dikala  datang tanpa memberi kabar.
 Merindukan binar matamu tak kala  hadir, rona merahRindu bau serbuk kayu yang beterbangan saat kau kerja, bisingnya suara mesin  pemotong kayu bau keringatmu saat lelah menghampiri terlebih merindukan kopi pahit sajian muÂ
Tapi aku kehilangan kontak ketika ingin menyapa, ketika ingin bertanya tentangmu tak satupun media yang aktif bahkan nomer telpon pun menghilangÂ
Jangan kau salahkan aku. Bukan karena kelalaian diriku tapi sepertinya kau sengaja  menjauh. Apakah ada salah yang terpercik?Â
Bung, adakah kau rasa sosok merindukanmu dari hati yang pernah kau cintai, saat jiwanya kau sayangi bahkan raganya terukir jelas di dinding kamar.
Nun jauh di sana terbelah lereng terjal. Melewati gunung perjalanan berliku, meninggalkan segala kepeduliannya hanya ingin menatap binar matamu.Â
Adakah kau pun merindukan obrolan di bawah sinar purnama, sembari menghirup secangkir kopi pahit, sepiring nasi goreng yang selalu kau pinta jika kepulangan aku.Â
Adakah kau pun merindukan, mencumbui malam bersama sahabat sahabat kita. Masih aku rasakan dingin yang menusuk tulang yang kita tahan hanya untuk menghabiskan malam karena esok telah usai.Â
Aku tahu menghilang mu karena rindu yang ingin kau singkirkan  dari pikiran, sayang yang ingin kau hapus dari hatimu bahkan cinta yang akan kau kikis dalam relung.Â
Ikrar darah telah menyatu, membawa kita pada kata sahabat bahkan saudara. Ku pinta jangan terlalu lama berlalu karena kuingin menghirup kopi pahit secangkir denganmu, seperti tahun tahun lalu.
Ruang Kosong, 140121