Jika orang bertanya terhadap ketertarikan aku terhadap dunia menulis. Impian dari kecil untuk menjadi penulis bukan hanya sekedar di tulis di diary.Â
Namun waktu belum berpihak untuk meujudkan impian itu. Di tahun delapan puluh lima hingga tahun sembilan puluh satu belum semeriah dunia menulis di jaman sekarang, apa lagi di kampung.Â
Di tahun dua ribuan, aku.mengenal dunia menulis hingga rajin ikutan lomba, ada beberapa karya yang menang atau sekedar di bukukan. Namun di saat berada di puncak asiknya menulis harus terhenti. Mengutamakan keluarga alasan klise kata salah seorang penulis yang aku kenal.Â
Lima tahun tak menjamah dunia kepenulisan baik sekedar nulis dibuku maupun dunia media. Â Kerinduan untuk itu terus menggoda hingga aku diam diam mengakses media kompasiana. Mencoba membuka yang lama namun sudah lupa kode untuk masuk.
Akhirnya aku membuat akun baru. Seperti maling, mencuri curi waktu untuk bisa menulis. Alhamdulillah ini tahun ketiga ikut dalam kompasiana, namun karya yang dibuat tidaklah sebanding dengan lama berada di kompasiana. Sempat ingin menutup akun.
Di saat membaca karya yang lama, muncul satu nama pak Tjiptadinata Effendi Aku klik artikelnya dan mulai membacanya, waktu itu tentang kisah hidupnya yang sempat berada terbawah, dan bangkit kembali.Â
Saat cerita itu usai, aku merasa begitu kagum dan takjub, ada sesuatu yang membuat hatiku merasa berada di hadapan orang tuaku sendiri yang memberi  kekuatan dalam menjalani hidup, seakan memberi nyawa baru untuk bangkit dari keterpurukan dan kesedihan panjang. Dalam usia  tak muda bahkan banyak yang bermanja manja dengan anak cucu, dia tetap mampu berkarya, tetap bersemangat menjalani kehidupan, tidak ada kalimat untuk berputus asah.  Menghasilkan banyak tulisan  yang menjadi pilihan hingga terdepan.
Aku malu, malu dalam usia ini aku patah arang, menyerah untuk bisa berkarya. Sedangkan aku, melihat tak ada yang membaca hingga suka  atau menjadi pilihan apa lagi berada terdepan, jauh, jauh sekali dari jangkauanku.Â
Namun setelah membaca tulisan itu, aku meras terpompa untuk terus menulis tanpa memikirkan hasil yang terpenting berusaha menulis yang terbaik.Â
Selain sosok pak Tjiptadinata Effendi ,ada lagi senior di kompasiana ibu Roselina Tjiptadinata .Tulisan tulisannya membuat mataku berkaca kaca  tak ubahnya seperti seorang ibu menasehati anaknya untuk terus berusaha, semangat, pantang menyerah jika mendapat ujian. Seakan membelai kepala dan mencium kening sembari berbisik ke telingakuÂ