Berdiri di ujung perbatasan, berharap bayang kembali menghampiri sembari bepeluk rasa. Kaki mulai merasa lelah, meronta untuk duduk sejenak tapi harus tetap berdiri agar di ujung perbatasan bayangan melihat aku tetap di sini.
Perlahan lahan mentari bergeser ke peraduan. Berganti jingga yang perlahan berputar, menari di pelupuk mata . Bayang pun tak terlihat sedang aku masih di ujung perbatasan, adakah kau tak rasanya berada dalam penantian panjang
Setiap waktu ketika rasa itu menggoda, aku akan berada di ujung perbatasan melewati  mentari, merasakan paparan jingga hingga berteman rembulan, tahukah kamu lelah dirikuÂ
Aku tak mampu menghitung, mentari yang bersinar, jingga yang berlalu hingga purna terlewati begitu saja, tanpa sapa, tanpa cerita apa lagi tatap mata.
Tiba tiba nama mu terpampang jelas, akankah luka lama akan terkoyak, akan kah perih lama akan bertambah perih. Air yang mengalir telah tenang kenapa kau kembali mainkan riaknya
Maaf bila sapa tak  kau dengar, apa lagi kata rindu. Telah aku jatuhkan di perbatasan Malaka di saat bayang berlalu seiring mentari menjelma senja, senja menjelma malam . Tak ingin ada yang terluka, biakan aku dengan lukaku.
Tatap lekat wajahku dan kau akan tahu bagaimana kisah berlalunya dirimu. Seperti impian yang telah pupus.Â
Palembang,23092020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H