Mohon tunggu...
Asnani AzaSharma
Asnani AzaSharma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hidup adalah keyakinan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seikat Maaf untuk Sang Guru

30 Oktober 2013   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:48 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi itu, cuaca cerah menambah semangat belajar siswa-siswi. Senyum sumringah mereka menyambut kehadiran sang guru yang siap memberikan ilmunya. Kecintaan akan belajar nampak dari wajah mereka yang penuh keikhlasan untuk hadir di kelas pada hari itu, dan mereka lebih beruntung dari teman-teman yang tidak hadir dengan alasan sakit atau tanpa keterangan.

Tepatnya 11 tahun yang lalu, ketika saya duduk di kelas 2.2 Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kotabumi (SMUN 1 Kotabumi), Kabupaten Lampung Utara. Jujur saya lupa hari itu hari apa? Tanggal berapa? Bulan berapa? Bahkan hanya beberapa nama teman yang saya ingat saat ini (Christina Manulang: teman sebangku, Joko, Suhendri, Andi, Wiwik, Salman, Chandra), yang lainnya? Maafkan saya teman!.

Namun yang jelas teringat dalam memori ini adalah hari itu belajar Matematika bersama Bpk. Widi Asmoro. Seperti biasanya, dalam setiap pertemuan di kelas Bpk. Widi selalu memberikan tugas latihan untuk dikerjakan di rumah dan akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Metode yang digunakan cukup ampuh untuk mengulas pelajaran di sekolah, dengan catatan benar-benar dikerjakan.

Saya sangat menyadari bahwa saya bukanlah siswapintar juga cerdas, kemampuan saya pas-pasan. Namun saya sangat sadar bahwa saya memiliki modal yang lebih dari sekedar pintar atau cerdas yaitu saya tekun dan pekerja keras. Walaupun saya kurang memahami pelajaran di kelas, akan tetapi dengan soal-soal latihan (PR) yang diberikan guru menjadi bahan untuk mengulas di rumah (belajar ulang). Oleh sebab itulah mengapa saya selalu menyelesaikan PR di rumah (walaupun saya tidak tahu apakah pekerjaan yang saya kerjakan tersebut salah atau benar).

Kembali ke hari itu, kami mengeluarkan buku catatan, buku PR, buku teks ke atas meja masing-masing. Begitu juga saya, siap dengan PR Matematika yang telah ditulis dengan rapi. Seperti biasa Bpk. Widi memanggil siswa/siswinya untuk mengerjakan PR tersebut di depan kelas dengan menuliskan hasil pekerjaan di papan tulis dengan kapurnya. Setiap satu soal dikerjakan oleh satu orang siswa/siswi.

Bpk. Widi memanggil nama saya untuk mengerjakan soal nomor 1 (satu). Kemudian saya bangun melangkahkan kaki maju mendekati papan tulis, dengan memegang buku PR di tangan kiri dan tangan kanan saya meraih sepotong kapur putih selanjutnya menuliskan jawaban saya sampai selesai. Setelah selesai, saya letakkan kembali kapur yang masih tersisa dan saya gosok-gosokkan jari saya supaya debu-debu kapur yang menempel segera jatuh. Dengan senangnya, saya membalikkan badan dan ingin melangkah menuju tempat duduk semula. Namun tiba-tiba, Bpk. Widi bertanya: “mau kemana?”, “duduk pak”, “perhatikan hasil pekerjaanmu, dimana letak kesalahannya?”. Begitu kagetnya saya dan langsung mengkoreksinya, siapa tahu ada yang salah tulis atau ada alur yang terlewati. Setelah saya perhatikan, saya tidak menemukan ada yang salah, namun Bpk. Widi dengan jelas mengatakan ada yang salah.

Lama saya berdiri memperhatikan hasil pekerjaan itu. Kemudian Bpk. Widi memanggil teman yang lain. Kemudian ada teman yang mencoba mengganti ini dan itu, akan tetapi tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan Bpk. Widi. Sampai-sampai kami ber-enam berdiri di depan kelas. Saya sebagai orang yang pertama maju, merasa kaki pegal, malu, dan sedih dan kesal pada diri sendiri (mengapa tidak bisa menjawab pertanyaan dengan baik?). Mungkin Bpk. Widi juga merasakan kesal kepada kami siswa/siswinya yang tidak bisa menjawab soal dengan baik. Atau mungkin beliau merasa sia-sia sudah susah payah mengajarkan kami, namun hasilnya tidak memuaskan. Selanjutnya Bpk. Widi menjelaskan dimana letak kesalahan, dan al hasil waktu belajar Matematika hari itu hanya dihabis untuk membahas PR.

Setelah pelajaran Matematika selesai dan di lanjutkan istirahat. Saya masih merenungi apa yang baru saja saya alami, begitu sulitnya pelajaran Matematika ini dan entah kenapa sejak saat itu saya mulai tidak simpati dengan pelajaran Matematika dan Bpk. Widi sebagai pengajarnya. Hari-hari selanjutnya saya merasa takut jika bertemu dengan pelajaran matematika, percaya diri saya tiba-tiba langsung hilang ketika berhadapan dengan pelajaran Matematika dan Bpk. Widi. Pernah Bpk. Widi berkata kepada kami bahwa “kalian tidak bisa menghindar dari yang namanya Matematika, karena Matematika selalu ada di sekitar kita”. Kata-kata itu selalu saya ingat sampai saat ini.

Ketika kenaikan kelas tiga dan juga penentuan jurusan yang akan kita pilih saya merasa bingung bukan kepalang, apakah jurusan IPA atau IPS yang menjadi pilihan saya?. Sebenarnya saya ingin masuk jurusan IPA, namun saya takut bertemu dengan pelajaran Matematika apalagi jika yang mengajarnya adalah Bpk. Widi. Akan tetapi teman-teman menyarankan agar saya masuk jurusan IPA, bahkan guru wali kelas menyarankan demikian karena berdasarkan nilai sangat memenuhi syarat. Namun tak seorangpun yang tahu apa yang menjadi ketakutan saya jika saya masuk ke jurusan IPA.

Pada akhirnya pilihan saya adalah IPS dan saya tercatat di kelas 3 IPS 1. Di kelas ini saya duduk bersama Amah Restiamah. Saya selalu duduk di barisan paling depan seperti halnya kelas satu dan dua. Ada selentingan yang saya dengar dari kakak tingkat terdahulu bahwa kelas IPS adalah “kelas buangan alias siswa-siswinya mereka yang tidak diterima di jurusan IPS sehingga wajar jika siswa/siswi jurusan IPS itu nakal-nakal”. Namun itu tidak saya pedulikan, bahkan saya terdorong untuk membuktikan kepada teman-teman jurusan IPA dan guru-guru bahwa kami di Jurusan IPS mampu bersaing secara akademik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun