Sebagian masyarakat mungkin masih berpikiran bahwasanya kaum wanita adalah makhluk yang lemah, tertindas, dan memiliki status sosial yang lebih rendah dari laki-laki. Tugas wanita hanya seputar aktivitas rumah tangga layaknya memasak, membersihkan rumah, merawat anak, atau melayani suami?
Wanita, sebagai makhluk yang merasa selalu dirugikan, sangat ingin disejajarkan posisinya dengan laki-laki. Lalu, muncullah kata “emansipasi wanita”. Itukah makna emansipasi wanita?
Jika kita amati dengan seksama mengenai fenomena yang terjadi di sekitar dunia wanita, misalnya melihat keadaan wanita dalam masyarakat, kita bisa melihat bagaimana para wanita memandang dunianya sendiri atau pun memandang dunia lain secara luas dan berusaha menyelesaikan setiap permasalahan yang dialaminya sehingga hidup mereka menjadi lebih baik.
Beberapa wanita mungkin sangat beruntung mampu memenuhi sebagian hasratnya. Salah satunya mungkin hasrat untuk layak mendapatkan pendidikan yang tinggi. Sebab, masih ada wanita yang hanya sekedar ingin mendapatkan pendidikan pun harus berjuang tertatih-tatih melawan persepsi atau bahkan adat dari masyarakat sekitarnya. Mereka harus berjuang atau menyerah pada keadaan.
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya dalam pandangan masyarakat kita, masih ada anggapan bahwa seorang wanita tidaklah perlu mengenyam pendidikan tinggi. Wanita cukuplah di dapur, di sumur, dan di kasur, katanya. Tak perlu bekerja di luar rumah, merawat anak adalah tugas utamanya. Masyarakat menamainya kodrat. Seperti itukah kodrat wanita?
Wanita, antara kodrat dan adat.
Jika kita melihat pengertian kodrat, menurut kamus bahasa Indonesia, kodrat merupakan kekuasaan (Tuhan), manusia tidak akan mampu menentang atas dirinya sebagai makhluk hidup. Sedangkan adat ialah aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
Kebiasaan wanita yang bekerja di dapur, katakanlah memasak, membuat wanita mahir dan masyarakat pun menyebut “karena memasak adalah kodrat wanita”. Lalu, bagaimana dengan seorang laki-laki yang juga mahir di dapur? Begitu juga merawat anak, seorang wanita akan lebih mahir mengganti popok dari pada laki-laki. Hal ini tidak lain karena seorang wanita terbiasa dengan pekerjaan itu. Bukankah seorang laki-laki juga mampu mengurus anak jika terbiasa? Segala pekerjaan di dapur atau di sumur dapat dikerjakan oleh wanita atau pun laki-laki bukan? Apakah ini yang disebut kodrat wanita?
Kodrat wanita merupakan suatu hal yang hanya bisa dirasakan dan dilakukan sendiri oleh wanita. Terdapat 4 hal yang menjadi kodrat wanita, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Hal ini yang perlu ditanamkan pada masyarakat.
Yang sangat disayangkan adalah pandangan masyarakat yang masih belum tepat tentang kodrat wanita, yang pada akhirnya membuat wanita kurang bisa mendapatkan apa yang menjadi hasratnya. Terutama dalam pendidikan.
Di beberapa daerah, utamanya daerah perdesaan atau pedalaman, akan banyak kita temui gadis-gadis yang harusnya duduk manis menyimak pelajaran sekolah sudah harus menimang seorang bayi digendongannya. Beberapa gadis itu menikah saat mencapai usia haid pertama, sekitar 9 atau 10 tahun. Tragis! Akan tetapi hal ini sudah dianggap suatu hal yang biasa oleh masyarakat sekitar.
Apa yang kemudian digadang-gadang disebut sebagai pernikahan dini. Pernikahan dini yang terjadi di daerah perdesaan disebabkan oleh beberapa faktor sosial, ekonomi, maupun latar belakang budaya setempat. Sekedar informasi, Indonesia merupakan negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi kedua setelah Kamboja diantara negara ASEAN atau menempati ranking ke-37 dunia. Sebanyak 0,2 persen atau lebih dari 22.000 perempuan usia muda berusia 10-14 tahun menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun, yaitu perempuan sebesar 11,7% dan laki-laki hanya sebesar 1,6% (BKKBN, 2012).
Usia pertama menikah pada usia sangat muda (10-14 tahun) cenderung lebih tinggi di perdesaan yaitu sebesar 6,2%, kelompok perempuan yang tidak sekolah sebesar 9,5%, kelompok petani/nelayan/buruh sejumlah 6,3%, serta status ekonomi terendah 6,0%. Rerata usia pernikahan pertama di Jawa Timur adalah 19,6 tahun. Usia kawin pertama 10-14 tahun sebesar 14,1% dan usia 15-19 tahun sebesar 44,5% (Riskesdas, 2010).
Menurut hasil penelitian Puslitbang Kependudukan BKKBN tahun 2011, beberapa faktor yang mempengaruhi adanya pernikahan dini sangat beragam, terdapat faktor sosial, budaya, serta ekonomi. Tingkat pendidikan yang tidak sampai lulus SMA mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pekerjaan yang layak, sehingga orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya daripada menambah beban keluarga. Tidak hanya itu, orang tua juga takut dengan bahaya pergaulan bebas yang bisa mempengaruhi anak mereka. Sedangkan faktor budaya yang mendorong terjadinya nikah muda (usia 14-16 tahun) adalah lingkungan. Beberapa daerah di Indonesia, masyarakatnya sudah biasa menikah pada usia 14-16 tahun, bahkan ada jika tidak menikah sampai usia lebih dari 17 tahun akan dianggap sebagai perawan tua. Dalam hal ekonomi, orang tua berharap mendapat bantuan dari anak setelah menikah karena rendahnya ekonomi keluarga.
Risiko menikah di usia muda akan menimbulkan beberapa masalah, yakni rentannya terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, emosi yang tidak stabil, tingginya sifat egois dari keduanya, kurangnya pengalaman dalam berbagai hal, rentannya terjadi perceraian, rahim belum siap menerima kehamilan sehingga rentan terjadi keguguran, pengetahuan dalam bidang perawatan kehamilan dan cara mengasuh anak masih rendah.
Itulah sebagian fakta yang masih terjadi di masyarakat kita. Tidak heran jika di negara ini angka kematian ibu dan bayi masih tinggi, juga tingkat perceraian atau pun kekerasan dalam rumah tangga juga masih tinggi. Salah satu penyebabnya bisa saja dari permasalahan adanya nikah dini tersebut.
Beberapa wanita harus berjuang tertatih-tatih untuk sekedar memenuhi sebagian hasratnya. Melawan persepsi masyarakat. Sebagian dari mereka bertahan dan sebagian-sebagian dari mereka “terpaksa” menyerah pada keadaan. Putus sekolah, kemudian menikah.
Idealnya seorang wanita turut mendapatkan pendidikan yang tinggi. Sebab, para wanita yang nantinya dalam rumah tangga paling dekat dengan anak. Wanita adalah sekolah bagi anak-anaknya. Mendidik generasi penerus bangsa tentunya harus mempunyai latar belakang pendidikan yang mumpuni bukan?
Rendahnya tingkat pendidikan bagi para wanita tentu berefek pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini digunakan untuk mengklasifikasikan sebuah negara adalah termasuk negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang serta untuk mengukur pengaruh pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Pengukuran IPM didasarkan pada perbandingan dari angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup.
Lamanya pendidikan yang diperoleh seseorang merupakan salah satu elemen pengukuran nilai IPM. Bukankah sangat perlu untuk memberikan pendidikan yang tinggi, baik bagi wanita maupun laki-laki? Bukan hanya sebatas IPM, melainkan tentang hak yang harusnya dijamin pemenuhannya oleh pemerintah.
Tidak ada kodrat atau pun adat yang menjadi penghalang bagi seorang wanita untuk memenuhi sebagian hasratnya, salah satunya mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, bukan? Tentu, ini bukan hanya soal permasalahan emansipasi!
Sebagai akhir dari tulisan ini, ada baiknya mengemukakan pendapat seorang sosiolog berkebangsaan Prancis, Emile Durkheim. Bahwasanya bersatunya wanita dan laki-laki untuk kemudian memerankan peran bagi suami dan istri, bukan karena prinsip persamaan, tetapi karena mereka berbeda satu sama lain; karena perbedaan itu pula mereka dapat bersatu membina rumah tangga.
Menurut pendapat tersebut mungkin bisa disimpulkan bahwa, emansipasi bukan sekedar terpenuhinya tuntutan hak kaum wanita untuk setara dengan kaum laki-laki, tetapi menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan, peran dan fungsi obyektif masing-masing.
Salam hangat untuk para wanita Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H