Tiga tahun yang lalu, sekitar bulan Juli 2016 saya menginjakkan kaki di pulau Lombok untuk pertama kali. Saya sempat mengunjungi beberapa pantai dan mencoba makanan tradisional Lombok seperti nasi balap Puyung, ayam Taliwang, sate Rembiga, pelecing kangkung dan juga lainnya yang ternyata begitu memanjakan indera pengecap saya. Waktu itu saya merasa telah jatuh hati dengan Lombok. Pantai Senggigi, pantai Selong Belanak, pantai Kuta, Tanjung Aan, pantai Setangi, dan pantai-pantai lain yang saya lupa namanya, desa adat Sade, dan Malimbu yang eksotis.
Bulan Juli lalu, akhirnya saya berjumpa lagi dengan Lombok. Entah kenapa saat roda pesawat menyentuh landasan, rasanya hati saya diliputi haru seperti ketika kembali pulang ke rumah setelah sekian lama hidup di tanah orang. Saya bergegas menuju pintu keluar bandara dan menemui penjemput saya. Kali ini saya pergi bersama kakak dari @janjalantrip. Sebelumnya, saya sudah menentukan tempat yang akan saya kunjungi. Saya juga berencana mengunjungi beberapa tempat yang 3 tahun lalu pernah saya datangi untuk sekedar bernostalgia.
Hari Pertama
Saya sampai di bandara sekitar pukul 15.30 WITA, dari bandara, kak Leo mengajak saya menuju bukit Merese yang lokasinya di Lombok Tengah. Butuh waktu sekitar 45 menit dengan kecepatan ala pembalap pemula atau 1 jam bagi para penganut aliran slow motion untuk bisa sampai ke lokasi. Saya sengaja meminta ke bukit Merese sore hari untuk menikmati senja dari atas bukit. Sebelum naik ke bukit, kami mampir dahulu di pantai Tanjung Aan. Sekalian bernostalgia, dan karena ternyata bukit Merese sungguh sangat dekat dengan Tanjung Aan. Tiga tahun lalu sepertinya nama bukit Merese belum naik daun, sehingga teman saya dulu tidak mengajak saya melihat bukit tersebut.Â
Saat saya bertanya tentang batu payung legendaris di Tanjung Aan, kak Leo bilang kalau batu payung tersebut sudah roboh karena terkikis gelombang. Syukurlah, dulu saya sempatkan menyeberang ke lokasi batu payung dan sudah pernah berfoto ria dengannya, jadi saya punya kenangan untuk disimpan. Tapi kasihan bagi para pemilik sampan yang dulu sering mengantar ke lokasi batu payung, pastinya kehilangan pemasukan semenjak robohnya batu payung.
Kami pun akhirnya mendaki tipis-tipis menuju bukit. Nampak beberapa turis lokal dan asing sudah mulai memadati bukit. Mereka nampak asyik hunting foto dari berbagai sudut. Saya cukup gembira menikmati hembusan angin yang lumayan kencang. Rasanya seperti ada dalam buaian ibu peri. Sembari menunggu senja muncul, saya minta kak Leo untuk mengambil foto saya dengan bukit Merese. Menurut saya, kalau dilihat bukit Merese ini nampak seperti pulau Padar mini dan dari atas bukit kita bisa menyaksikan hijaunya pantai Tanjung Aan.