Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dolly, Riwayatmu Kini....

2 Juni 2014   22:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian besar warga kota Surabaya mungkin sudah tidak asing lagi dengan keberadaan “Dolly”, sebuah distrik merah yang konon katanya berdiri sejak jaman Belanda. Tante Dolly Van Der Mart- lah yang pertama kali mendirikan bisnis esek-esek ini di Surabaya. Menurut cerita, gang Dolly dahulu adalah sebuah pemakaman warga Tionghoa dan kemudian disulap menjadi tempat prostitusi yang disuguhkan khusus untuk tentara Belanda. Hingga seiring waktu berlalu, Dolly tidak hanya dikenal oleh kalangan tentara Belanda, tetapi juga  pribumi maupun saudagar yang berdagang di Surabaya turut serta menikmati jasa PSK gang Dolly.

Berkembangnya usaha esek-esek ini membuat nama tante Dolly melambung hingga melegenda di mulut masyarakat sebagai perintis distrik merah yang terletak di jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, yang digadang-gadang merupakan tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara. Woww!!

Banyak yang menyebut Dolly sebagai icon Kota Surabaya. Bahkan kabarnya Dolly lebih dikenal dari pada Kota Surabaya sendiri. Mungkin bisa disebut juga Dolly adalah icon Indonesia karena tempat prostitusi ini terbesar se-Asia Tenggara. Banggakah kita?

Ribuan Pekerja Seks Komersial (PSK) tersedia di wisma esek-esek nan remang-remang yang jumlahnya ratusan, kafe dangdut, dan panti pijat plus-plus yang berjejer rapi menyebar di beberapa RW di Kelurahan Putat Jaya. Kabarnya juga Dolly merupakan salah satu penyumbang APBD terbesar setiap bulannya bagi pemerintah Kota Surabaya, mencapai kisaran miliaran rupiah.

Dolly. Entah bagaimana riwayatmu nanti?

Juni tahun 2014, pemerintah Kota Surabaya berencana menutup kawasan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini. Tentunya isu penutupan Dolly ini diwarnai pro-kontra oleh beberapa pihak.

Niat bu Risma (Wali Kota Surabaya) untuk menutup lokalisasi Dolly adalah sebuah misi yang mulia dan memang harus mendapat dukungan dari masyarakat Surabaya, bahkan beliau merelakan nyawa untuk bisa menutup Dolly selamanya.

Kebijakan bu Risma untuk menutup Dolly pun bukan tanpa alasan. Lokalisasi Dolly tumbuh dan berkembang berdampingan bersama kehidupan masyarakat. Para anak dan remaja berisiko tinggi terpapar gaya kehidupan “wisma-wisma” yang  berjejer rapi di hampir setiap gang. Kekhawatiran akan terbentuknya perilaku yang menyimpang pada remaja, seperti seks bebas, narkoba, atau perilaku negatif lainnya tentu wajar bukan?

Sepengamatan saya selama 4 malam berturut-turut blusukan Dolly, ada semacam lakon kehidupan yang unik di kawasan lokalisasi Dolly. Malam-malam itu saya membantu teman saya menyebarkan kuesioner penelitiaannya yang berjudul “Faktor Personal dan Lingkungan yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Remaja Di Kawasan Lokalisasi Dolly Kota Surabaya (Kelurahan Putat Jaya Surabaya)”. Kami mencari remaja yang tinggal di kawasan lokalisasi Dolly yang berusia 17-21 tahun untuk mengisi kuesioner dari kami. Tentu kami harus blusukan menelusuri setiap gang Kelurahan Putat Jaya untuk menemukan 70 remaja. Berhubung remaja usia segitu kalau pagi sampai sore masih sekolah atau kuliah, kami menyatroni mereka pada malam hari. Dan saat malam hari pula, kehidupan wisma-wisma Dolly pun mulai bersinar.

Uniknya, saat gang sebelah mengumandangkan lantunan sholawat kepada Nabi dan puji-pujian kepada Tuhan dengan sangat merdu, sebelah gang lainnya nyaring dengan suara-suara musik dan desah-desah birahi antar anak manusia. Lagi,  jika anda masih mencium aroma pipis tikus atau bau khas kecoa, berarti anda masih jauh dari wisma. Namun,  jika wewangian mulai tercium oleh anda, dekatlah sudah dengan wisma. Bersiaplah untuk kami berbelok arah atau berjalan cepat setengah lari... :D

Wisma temaran dengan lampu warna merah redup dan di dalamnya duduklah para wanita berpupu mulus dengan gincu merah darah, pipi merona dengan senyum menawan yang siap menyambut lelaki hidung belangnya. Ah, sulit dilupakan... :D

Saat menelusuri gang-gang kecil, rasanya seluruh mata tertuju pada kami. Serasa kami adalah tersangka yang patut dihakimi. Suasana kawasan  lokalisasi Dolly memang terasa berbeda dari 2 tahun yang lalu. Dulu saat mengadakan acara dengan masyarakat sekitar, rasanya mereka begitu welcome dan tanpa curiga. Tapi malam-malam itu, entah perasaan kami atau bagaimana, kecurigaan rasanya tertumpah pada kami. Bahkan, beberapa responden menganggap kami adalah suruhan bu Risma. Tidak segan-segan salah seorang dari mereka menulis di lembar kuesioner “DILARANG TUTUP DOLLY”.  Ada juga seorang bapak-bapak yang nyeletuk saat kami lewat, “Weslah, Mbk. Dolly tutupen wae. Ngene iki aku wes kakehan doso”(Sudahlah, mbk. Dolly tutuplah saja. Kayak gini aku sudah banyak dosa). Dan tentu kami harus menjelaskan berulang-ulang kepada calon responden maupun masyarakat sekitar akan maksud kami.

Ironisnya, mungkin ini cerminan akibat globalisasi atau entah lingkungan, 3 dari 14 remaja yang saya tanyai setuju bahwa keperawanan atau keperjakaan tidak harus dipertahankan jika pasangan tidak mempermasalahkan. 4 dari 14 remaja berpendapat bahwa diperbolehkan berhubungan seks dengan PSK jika sudah berumur 17 tahun. 2 dari 14 remaja berpendapat lebih baik berhubungan seks dengan pacar sendiri dari pada dengan PSK. Dan beberapa mengaku sering mengunjungi wisma. Bagaimana tidak sering? Jarak wisma dari rumah mereka ada yang 5 langkah saja...

Memang warga sekitar kawasan Dolly sangat menolak adanya rencana penutupan Dolly oleh bu Walikota. Beberapa spanduk dibubuhi tulisan-tulisan penolakan penutupan kawasan lokalisasi Dolly. Salah satu berbunyi kurang lebih, “Kami Tidak Butuh Pelatihan dan Da’i. Kami Hanya Ingin Menghidupi Keluarga Kami”, dan masih banyak tulisan-tulisan yang berisi penolakan penutupan lokalisasi dari Paguyuban Pekerja Kawasan Lokalisasi (kalau nggak salah ingat).

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya adanya lokalisasi tersebut bermotif ekonomi. Seperti yang dialami oleh Ratih (bukan nama sebenarnya)melacur untuk kebutuhan beli susu anakyang masih balita,begitu pula Marni (Bukan nama sebenarnya)melacur karena butuh biaya untuk mengobatkan saudara yang sedang sakit, bahkan diantara lainnya,karena terlilit utang kepada seorang mucikari.Walaupun ada beberapa PSK lain yang berlatar belakang ingin hidup mewah dengan cara instan.

Tidak hanya kalangan tua saja yang menolak penutupan lokalisasi, tapi juga sebagian remaja. Mengapa sebagian remaja juga ikut-ikutan menolak penutupan lokalisasi? Setelah ditanya ada salah satu dari mereka yang menjawab bahwa, sebenarnya niat bu Risma untuk menutup Dolly itu baik. Tapi yang mereka khawatirkan adalah nasib para pedagang kaki lima, tukang parkir, pengamen, dan sebangsanya yang menggantungkan kehidupan mereka pada Dolly.

Memang tidak heran jika penolakan penutupan lokalisasi ini timbul. Bertahun-tahun warga sekitar lokalisasi menggantungkan hidup untuk mencari nafkah di kawasan lokalisasi Dolly. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan yang mungkin bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari kawasan lokalisasi Dolly adalah kehidupan yang penuh laknat. Bisnis esek-esek memang sangat menguntungkan. Faktor ekonomi mungkin yang dominan di sini. Mungkin butuh waktu yang tidak hanya setahun atau dua tahun untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar lokalisasi Dolly. Kebijakan penutupan lokalisasi Dolly seyogyanya harus tersosialisasi dengan baik supaya kelak bisa terwujud.

Jika Dolly benar-benar ditutup, pemerintah perlu mewaspadai adanya “Dolly-Dolly” baru. Bercermin dari penutupan lokalisasi di Tulungagung, banyak para PSK yang berkeliaran dan membuka cabang baru di daerah Blitar dan Kediri. Hal ini disebabkan karena para PSK tersebut tidak lagi mempunyai pekerjaan sedangkan tuntutan hidup semakin meningkat, meskipun pemerintah sudah menyediakan pesangon maupun pelatihan keterampilan bagi para PSK dan mucikarinya.

Penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS) juga perlu diwaspadai. Adanya lokalisasi masih memungkinkan monitoring terhadap sebaran PMS sehingga bisa segera ditangani. Jika lokalisasi sudah ditutup, tentu akan sulit memonitoring sebaran penyakit menular seksual ini.

Terlepas dari semua itu, sudah siapkah warga Surabaya kehilangan Dolly?

Kita tunggu episode baru tentang riwayat Dolly. Akan tetap berjaya, melegenda atau tinggal kenangan untuk diceritakan?

Ah, Dolly... Terimakasih atas pelajaran dan pengalaman yang kau berikan...

salam...

Surabaya, 02 Juni 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun