Sistem demokrasi dipilih untuk mengelolah dan membuat perbedaan itu menjadi indah, bukan sebagai sumber konflik. Kisah guru yang dipecat di Bekasi (Baca : Beda Pilihan, Guru Dipecat).Â
Di Bali seorang pecalang di pecat sebagai buntut perbedaan pilihan dalam pemilihan gubernur (baca : Tak Pilih Koster Ace, Pecalang Dipecat). Di Jeneponto (Sulsel), seorang oknum lurah tidak mau menanda tangani berkas adminitrasi seorang warganya. Kasus ini juga diduga sebagai akibat perbedaan pilihan politik dan pilkada (baca : Oknum luran versus warga).Â
Pilkada serentak telah usai, tidak lama lagi, kita akan melaksanakan pemilihan umum sebagai agenda demokrasi untuk memilih  Presiden dan Waprenya, Anggota DPR/D (provinsi dan  kab./kota), serta DPD.  Sebagai konsekuensinya, masyarakat akan terfragmentasi dalam pilihan politik yang berbeda-beda. Sayangnya, demokrasi yang seharusnya dinikmati sebagai sebuah pesta dan perbedaan pilihan politik yang harusnya diterima sebagai sebuah rahmat, akan kembali membelah rakyat pada posisi yang saling berhadap-hadapan.  Â
Di media sosial, saling tuduh dengan penggunaan istilah "kecebong" dan "kampret" serta istilah-istilah lainnya yang seharusnya tidak muncul dari masyarakat yang beradab adalah wujud nyata pembelahan itu.  Dan kata-kata yang demikian itu makin sering diucapkan, sangat ringan diketik  untuk menyerang pihak lain yang berbeda alifiliasi politiknya.Â
Kasus terakhir yang ramai diperdebatkan terkait prosesi pembukaan "Asian Games". Â Peristiwa yang seharusnya mempersatukan, justru menjebak sebagian warga untuk saling serang dengan kata-kata yang tidak jauh dari "kampret, kecebong, dungu, bani onta, dll. Meski bukan peristiwa politik, tapi diseret pada ranah politik untuk saling menjatuhkan.Â
Dalam sebuah kolom komentar di media sosial, pendukung dan pemuja pemerintah akan dengan mudah dilabeli "kecebong" oleh yang lainnya. Pun demikian dengan yang kelompok yang nyinyir dan mengkritisi pemerintah akan sangat gambang mendapat gelar "kampret". Jika dua kelompok ini yang terlibat dalam perang komentar, maka dipastikan bahwa yang ada adalah saling umpat dan nihil gagasan.
Pemilu, seharusanya dimaknai sebagai sebuah proses biasa sebagai instrumen demokrasi untuk mengevaluasi dan memilih pemimpin. Sebagai instrumen demokrasi, maka perbedaan pilihan dan afiliasi politik adalah sebuah keniscayaan. Dalam masyarakat yang beradab, perbedaan itu adalah hal yang biasa. Masyarakat diberikan kekebasan untuk memilih sesuai dengan pereferensinya.Â
Adabnya adalah "meninggikan pilihan  tanpa harus merendahkan pilihan orang lain dan orang yang berbeda pilihan"            Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H