Di akhir November 2017, Pendidik PAUD Nonformal menghiasi pemberitaan media cetak, online, dan televisi. Episentrum pemberitaan berpusat di DKI Jakarta, tepatnya RAPBD DKI Jakarta 2018. Isunya adalah rencana pemberian dana hibah ke Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 40 M lebih. Dengan cepat berita ini bergulir ke seantero negeri, menjadi perbincangan  para pemerhati budjeting, pengamat, dan para politisi (mungkin juga pemerhati pendidikan anak usia dini).
Tulisan ini tidak akan mengulas polemik pemberian dana hibah ke HIMPAUDI DKI Jakarta tersebut, tetapi lebih pada uraian singkat mengenai Pendidik PAUD yang tergabung dalam organisasi HIMPAUDI tersebut. Istilah PAUD dapat kita temukan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Â
PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar yang dapat dilasanakan melalui jalur formal/PAUD formal seperti Taman Kanak-kanak (TK) maupun Raudatul Anfhal (RA), serta jalur nonformal/PAUD nonformal seperti Kelompok Bermain (Play Group), Taman Penitipan Anak, maupun bentuk lainnya yang sejenis. Pendidik PAUD nonformal ini lah yang tergabung dalam organisasi HIMPAUDI, sedangkan saudaranya seperti pendidik PAUD formal tergabung dalam IGTKI untuk pendidik TK dan IGRA untuk pendidik RA.Â
Dengan tugas dan tanggung jawab yang relatif sama, bahkan lebih besar dan berat,  pendidik pada PAUD formal disebut guru, sedangkan pendidik pada PAUD nonfomal tidak disebut guru (baca UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen), meskipun  Permendikbud No. 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD telah menyebut mereka sebagai guru. Tidak dikategorikannya Pendidik PAUD nonformal sebagai guru berakibat pada banyak hal, salah satunya adalah mereka tidak memperoleh kesempatan untuk disertifikasi dan mendapat tunjangan sertifikasi layaknya saudara-saudara mereka yang mengabdi sebagai pendidik pada PAUD formal. Fakta ini menjadi persoalan tersendiri yang sampai saat ini masih menjadi bom waktu tanpa solusi yang memadai.
 Sebagai gambaran, data statistik Pendidikan Anak Usia Dini tahun 2016/2017 yang dipublish oleh Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud menyajikan data bahwa jumlah lembaga PAUD nonformal di seluruh Indonesia (KB, TPA, SPS) sebanyak 105.005 dengan jumlah peserta didik sebanyak 8.027.829 (usia 0 - 6 tahun). Jumlah peserta didik sebanyak itu dilayani oleh pendidik sebanyak 299.195 orang dan pengelola (tenaga kependidikan) sebanyak 79.143 orang (sumber : Statistik PAUD 2016/2017 ). Jika dibandingkan dengan TK (PAUD formal), jumlah anak usi dini yang dilayani oleh PAUD nonformal jauh lebih banyak. Statistik PAUD tahun 2016/2017 mencatat bahwa jumlah anak yang dilayani oleh TK hanya 4.605.809 anak (usia 4 - 6 tahun), jumlah ini tidak termasuk anak yang dilayani oleh RA yang pengelolaannya di bawah naungan Kemenag.
Dengan jumlah satuan/layanan program maupun sasaran peserta didiknya, lantas bagaimana dengan tingkat kesejahteraan mereka? Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan (termasuk tentunya PTK pada PAUD nonformal) berhak untuk memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.Tentunya ini merupakan imbalan yang pantas atas dedikasi mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Namun faktanya, banyak pendidik PAUD nonformal yang tidak mendapatkan penghasilan yang memadai. Kisaran honor antara Rp. 150.000 s.d Rp. 300.000 bukan berita baru, itu pun kadang dibayarkan diakhir tahun (baca : Derita Guru PAUD ), bahkan kadang ada yang tidak mendapat imbalan sama sekali (baca : Upaya HIMPAUDI meningkatkan kesejahteraan Guru PAUD).
Meski dengan imbalan yang sangat minim, peluang untuk disertifikasi sangat kecil (karena tidak dimungkinkan oleh UU), menyandang status sebagai PNS pun sama kecil peluangnya, Â militansi dan dedikasi dalam menjalankan tugas tetap sangat tinggi. Salah satu Pendidik PAUD di pedalaman Kab. Toraja Utara yang sempat kami temui, rela jalan kaki sekitar 2 KM dari rumahnya untuk menjalankan tugasnya sebagai Pendidik di salah satu lembaga PAUD. Fakta-fakta terkait pendidik PAUD yang menjalankan tugasnya dengan honor yang kecil selalu menjadi cerita menarik saat kami berkunjung ke salah satu lembaga PAUD.Â
Keluhan tentang kondisi yang berbeda pada pendidik PAUD formal seperti TK maupun RA juga selalu menjadi bahan curhat yang tak berkesimpulan, tentang guru TK yang dapat menyandang status PNS, memperoleh pengakuan sebagai pendidik profesional melalui pemberian tunjangan sertifikasi (meskipun  tidak semua), yang kesemuanya itu merupakan sesuatu yang langka terjadi pada pendidik PAUD nonformal.
Dari aspek subtansi pelaksanaan tugas sebagai pendidik/guru, tidak ada perbedaan tanggung jawab antara pendidik pada PAUD formal dengan PAUD nonformal. Dalam melaksanakan tugasnya, keduanya mengacu pada standar nasional pendidikan yang sama. Satu-satunya yang membedakan adalah pada penyebutan nama, yang satunya di sebut sebagai guru (formal), yang lainnya (nonformal) tidak diakui sebagai guru, padahal dari aspek profesionalitas (jika mengacu ke UU Guru dan Dosen), fakta dilapangan tidak menunjukan perbedaan yang nyata, bahkan tantangan yang dihadapi justru lebih berat, penyebaran layanan PAUD nonformal, khususnya Kelompok Bermain lebih banyak pada wilayah-wilayah pedesaan dan  daerah terpencil lainnya,  yang pendiriannya diinisiasi oleh individu maupun kelompok masyarakat. Pada sisi ini, pemerintah  abai dan menunjukan ketidak adilannya.Â
Pendidik PAUD nonformal, mereka inilah yang jatuh bangun melaksanakan tugasnya dalam keterbatasan, bekerja dalam diam, jauh dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan, mendidik dalam sunyi, merekalah pahlawan-pahlawan yang (tak) terlupakan.
Sinjai, 7 Desember 2017