Mohon tunggu...
Resi Asmoro
Resi Asmoro Mohon Tunggu... Auditor - Apaan Sih Ini..? Nggak Jelas Dah Kompasiana Sekarang

Freelance Accounting

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sisi Lain Rivalitas Mourinho-Guardiola

25 September 2012   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

The Reason That I Like The Special One

Seluruh pecinta sepakbola tahu bagaimana rivalitas Barcelona-Madrid dalam menguasai liga domestik tanah Spanyol. Mereka adalah penguasa lebih dari separuh titel La Liga yang pernah di gelar sejak tahun 1929 silam. Dalam delapan musim terakhir, keduanya selalu bergantian tampil sebagai jawara liga negeri matador. Bahkan laga keduanya yang kerap di sebut sebagai El Classico, acap kali di anggap sebagai duel penentu gelar juara.

Rivalitas pun merembet hingga ke persaingan antara mega bintang mereka masing-masing. El Barca dengan pemain terbaik dunianya, Lionel Messi. Sementata El Real dengan pemain termahal dunianya, Cristiano Ronaldo. Bahkan keduanya pun bergantian sebagai pemain terbaik dunia sejak tahun 2008. Rivalitas lain yang terakhir dan paling menarik menurut saya, adalah persaingan diantara kedua pelatih tim masing-masing.

Josep Guardiola di Barcelona dan Jose Mourinho di Real Madrid. Banyak stigma yang bertentangan bila kedua nama tersebut di sandingkan. Josep Guardiola adalah seorang pelatih yang santun, rendah hati, pun lagi jenius dengan filosofi sepakbola menyerangnya yang terkenal, Tiki-Taka. Sementara Jose Mourinho sering di gambarkan sebagai sosok pelatih yang arogan, sombong, pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk menang, sekalipun dengan Catenaccio ala Inter atau Park The Bus ala Chelsea. Kurang lebih seperti itulah komparasi keduanya di media.

Bila kita terjerumus dalam fanatisme berlebihan tanpa mengedepankan akal sehat, maka bisa di pastikan bahwa Guardiola akan kita sanjung tinggi-tinggi. Sejatinya dalam pengamatan saya, pembentukan profil seperti itu adalah hasil kerja dari media pencari berita yang mengambil untung dari adanya “rivalitas semu” tersebut.Padahal selalu ada cerita di balik cerita.

Fakta membuktikan bahwa keduanya adalah pelatih terbaik saat ini dengan sederet raihan gelar, baik lokal, Eropa maupun dunia. Pep memulai karir kepelatihan dengan sangat luar biasa, meraih Treble Winner di musim pertamanya! Dengan Tiki-Taka, dia membawa Blaugrana menyabet semua gelar. Mulai merebut titel La Liga dari musuh bebuyutan Real Madrid, Copa del Rey hingga trofi Liga Champions Eropa. Sontak seluruh dunia mengagung-agungkan Barca sebagai yang terbaik di dunia. Los Cules berjaya dengan hat-trick gelar La Liga setelahnya. Los Merengues sebagai kolektor terbanyak trofi liga domestik tentu tak ingin selalu di kangkangi seteru abadinya itu. Maka di tunjuklah seorang yang dianggap bisa menjinakkan Guardiola dan asuhannya. Adalah Jose Mourinho yang ketika itu sedang berada dalam puncak karirnya sebagai pelatih, setelah membawa Inter Milan merengkuh Treble Winner. Mourinho telah beberapa kali berhasil mematikan peran Lionel Messi ketika melatih Chelsea dan terakhir Inter.

Walhasil, sejak 2010 Blaugrana berhasil merasakan kembali gelar juara La Liga dan Liga Champions. Namun secara perlahan Los Blancos mulai menemukan kepercayaan dirinya kembali, setelah berhasil mengalahkan Messi dkk di Final Copa del Rey. Semusim kemudian, kedua klub juga mengukuhkan sebagai penguasa Negeri Matador, dimana kali ini mereka bertukar trofi. El Real sukses merebut tahta La Liga dari El Barca, sedangkan tim Catalan mengambil gelar Copa del Rey milik tim Ibukota. Menjadikannya kisah yang tak ada habisnya di muat media massa.

Selama periode tersebut, media telah menciptakan profil dunia sepakbola seperti karakter Jekyll and Hyde. Dalam kacamata saya, itu hanyalah stigma bentukan media sebagai komoditas pendongkrak oplah. Tidak lebih. Setelah pengunduran diri dari pelatih bernama Josep Guardiola i Sala ini pada akhir musim 2012, berakhir pula kompetisi semu dua personal.

Sekarang mari kita kupas nilai positif apa yang bisa kita pelajari dari dua sosok jenius ini dengan mengesampingkan fanatisme dan profil yang di buat media atas keduanya.

1.Pemenang Sejati

Dengan 14 gelar dalam 4 tahun masa kerjanya, tak pelak lagi Josep Guardiola di tahbiskan sebagai pelatih tersukses sepanjang sejarah Barcelona. Semuanya di raih dengan mengandalkan permainan menyerang dan kolektivitas tim serta kreativitas taktik tingkat tinggi. Prinsip utamanya adalah mencetak lebih banyak gol dibanding lawan. Dalam kehidupan pribadi kita, prinsip tersebut dapat kita adaptasi dalam membuat kita menjadi pribadi yang unggul di banding orang lain. Dengan fokus kepada pengembangan diri sendiri, menambah berbagai keahlian, wawasan dan ilmu pengetahuan, kita akan mengungguli orang lain tanpa harus mengalahkan siapapun. Pep juga hanya mau memperpanjang kontrak satu tahun setiap musimnya, hanya untuk membuat dirinya tertekan sehingga ia tertantang untuk menglahkan dirinya sendiri. Bukan karena uang.

Catatan membuktikan, bahwa sejak tahun 2002 Jose Mourinho selalu berhasil memenangkan gelar juara. Selama kepelatihannya, Mou telah mengkoleksi 20 trofi sebagai bukti kehebatannya. Hanya gelar juara dunia klub yang belum pernah dirasakannya. Bukan karena timnya dikalahkan oleh lawan, tapi karena dia selalu berganti klub setelah memenangkan Liga Champions. Seorang pemenang sejati tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang dicapai saat ini. Selalu ada tempat baru dengan tantangan yang jauh lebih besar untuk di taklukan. Jumlah trofi Mou memang kalah fantastis dibanding Pep. Namun satu hal yang perlu kita catat adalah The Special One meraihnya dengan empat klub berbeda di empat kompetisi yang berbeda pula. Tiga kompetisi diantaranya adalah liga utama Eropa, yakni Premiersip di Inggris, Serie-A di Italia serta teranyar di La Liga Spanyol. Sementara Pep belum pernah menangani klub selain Barca, sehingga rekornya masih dapat di gugat dengan hadirnya pemain generasi emas di tim Catalan. Wajib kita tunggu klub mana yang akan dilatih Guardiola berikutnya, serta prestasi apa yang akan mengikutinya.

2.Jenderal Cerdas

Percayakah Anda, bahwa Barcelona pernah di catat sebagai klub dengan rata-rata pemain yang paling pendek secara fisik di banding peserta Liga Champions lainnya? Bagaimana mungkin mereka bisa menutup kelemahan tersebut dalam menghadapi lawan-lawan yang memiliki postur lebih besar? Disinilah letak kejeniusan mantan pemain Brescia ini membuat kekurangan menjadi sumber kekuatan dan inti dari Tiki-Taka. Sebut saja poros serangan yang berpusat pada Xavi Hernandez-Andres Iniesta dan berakhir pada sentuhan magis Lionel Messi. Ketiganya adalah pemain yang secara fisik bisa di katakan mungil namun memiliki kelebihan yang bisa di eksploitasi dengan baik oleh Pep. Xavi dengan visi dan passing akurat adalah kreator awal dari setiap serangan yang di bangun. Kemudian Iniesta yang memiliki kecepatan dengan dribel luar biasa sering merusak pertahanan lawan dari sisi sayap. Lalu ada Pemain Terbaik Dunia, Leo Messi sebagai penyelesai yang terlampau cepat bila dikejar, terlalu licin untuk di jaga dan eksekusi yang teramat sukar untuk di hentikan oleh kiper manapun di dunia. Ketiganya adalah elemen dari sebuah sistem yang sangat mematikan sebagai serangan balik yang selalu menghantui lawan. Bahkan Pep kerap kali memakai formasi False 9 yang terkenal, dimana tidak ada seorang striker murni di dalamnya. Sehingga setiap pemain adalah striker dan bisa mencetak gol. Filosofi yang dianut adalah kolektivitas dari setiap individu adalah kunci kemenangan. Pemain individualistis sekelas Ronaldinho pun tidak masuk dalam skema permainan.

Dalam dunia korporasi atau manajemen perusahaan, jelas ini adalah contoh sempurna dalam memenangi sebuah pertarungan dengan kompetitor. Tidak di butuhkan Super Man tapi Super Team untuk menang.

Di sisi lain Jose Mourinho tidak kalah jenius dalam meracik strategi anak asuhnya, meski terkesan lebih pragmatis. Jauh sebelum memenangi gelar pertamanya, dia telah menyerap ilmu strategi menyerang dari dua orang pelatih besar di dunia, Sir Bobby Robson dan Louis Van Gaal. Dia berhasil melengkapi taktik bermain sepakbola, karena pada dasarnya ia adalah seorang penganut filosofi permainan bertahan. Mou adalah seorang pembelajar yang baik, dia sangat memperhatikan kepada setiap detail yang kecil. “Excellence is attention to details”, begitu kira-kira pepatah Barat yang terkenal. Sebagai seorang jenderal yang akan memimpin kapten beserta pasukannya bertempur, dia rela untuk menyaksikan banyak rekaman pertandingan calon lawan, bahkan datang langsung untuk melihat kelebihan dan kekurangan lawan. Seperti pernah di ucapkan oleh Sun Tzi, ahli perang China, “If You know the enemy and know yourself, You need not to fear the result of a hundred battles”. Ya, sangatlah penting mengetahui kemampuan diri sendiri di banding lawan, serta mengenali kelemahan lawan dan menutupi kekurangan diri. Contoh tepat dari filosofi ini adalah ketika Mourinho bersama Inter Milan menyingkirkan Barcelona asuhan Pep di semifinal Liga Champions tahun 2010. Dia tahu bahwa Barca akan kesulitan mengembangkan permainan passing mengalirnya diatas lapangan San Siro yang buruk. Inter berhasil memanfaatkannya dan menang 3-1. Di laga selanjutnya, dia menyadari bahwa di Camp Nou nanti El Barca akan bermain dengan sangat menyerang dengan umpan cepat dan mematikan. Jelas ini ancaman bagi pasukannya yang tergolong uzur kala itu di banding lawan. Saya yakin, bahwa sesungguhnya Mou ingin sekali Inter bermain menyerang, mencetak banyak gol dan menang untuk membuktikan bahwa hasil di San Siro bukanlah kebetulan. Namun akal sehatnya mengatakan bahwa gelar juara lebih penting baginya, para pemain, Internisti serta pemilik klub. Maka dia memutuskan untuk menekan ego pribadi serta seluruh pemainnya untuk bermain ultra defensive. Catenaccio.

Hasilnya, Inter kalah 1-0 namun menang secara keseluruhan. Kontan, ketika peluit panjang berbunyi Mou berlari ke tengah lapangan merayakannya di tengah cemoohan para Barcelonistas. Bukan karena Inter berhasil lolos, tapi itu selebrasi kemenangan atas ego-nya sebagai manusia ambisius. Menurutnya, itu adalah kekalahan terindah dalam hidupnya.

Mou ingin meraih banyak gelar. Sejak awal Mou sadar peluangnya sebagai pesepakbola yang sukses sangat kecil. Dia rela berhenti dan memutuskan menimba ilmu dari staf penerjemah bertahun-tahun lamanya. Ilmu adalah investasi terbaik dari seseorang, dan dia memetik hasilnya.

3.Great Leadership

Dalam hal kepemimpinan, Guardiola dan Mourinho memiliki level yang sama namun dengan gaya yang berbeda. Pep adalah figur pemimpin tenang, kalem, rendah hati namun memiliki ambisi juara yang tinggi. Sering kali dia membelokkan semua pujian kepada para anak buahnya atas keberhasilan Blaugrana memenangi gelar dengan permainan yang memukau. Dia tidak pernah terlena oleh sanjungan maupun penghargaan individu sebagai pelatih terbaik yang jumlahnya melebihi gelar Barcelona di masa kerjanya. “Sanjungan adalah teror” mungkin itu pesan yang di ingatnya dari seorang Tukul Arwana. Pep juga berhasil menanamkan filosofi sepakbola menyerang kepada setiap pemain yang berkostum merah-biru. Sejauh ini setelah kepergiannya, proses transisi di tubuh Barcelona berjalan sangat mulus. Karena budaya dan filosofinya telah ditanam, di pelihara dengan baik, sehingga mengakar dengan kuat di setiap anak asuhnya. Dia telah meninggalkan sistem bermain yang “mudah” untuk di mainkan oleh siapapun orangnya. Ini adalah leadership Level 5.

Pengunduran dirinya adalah bentuk lain dari sikap kesatrianya. Setelah empat tahun yang bergelimang kejayaan, rasa jenuh mulai menghinggapinya. Ketika dirinya hanya bisa mempersembahkan gelar Copa del Rey, ia pasti mulai melihat batas dirinya. Bahkan ia mengatakan tidak lagi merasa senang ketika menang dan tidak pula sedih ketika kalah. Lagi-lagi ia mengambil keputusan bukan karena ada tawaran menggiurkan dari klub lain, meski banyak yang menyodori kontrak fantastis. Ia mundur untuk beristirahat sementara waktu agar dapat mengembalikan gairah bertandingnya sebagai seorang pemenang. Sepakbola adalah tentang rasa, emosi. Apalah artinya kemenangan jika tak lagi dapat dirasa. Hampa.

Sementara Jose Mourinho adalah seorang pelatih yang memiliki gaya memimpin lebih retorik dan ego-sentrik. Dia ahli dalam melancarkan psy-war terhadap calon lawannya dan siap bertanggung jawab atas kesalahan anak buahnya. Seringkali dia membuat sensasi menjelang pertandingan tertentu atau seusai laga krusial. Menurut kacamata saya, semua itu dilakukan agar semua perhatian tertuju kepadanya dan menyelamatkan anak buahnya. Namun di dalam “rumah” ia tidak segan untuk menyerang anak asuhnya bila tidak memenuhi standarnya. Benzema pernah di semprot sebagai pemain malas, lantaran pernah telat latihan. Kemampuannya dalam ber retorika pernah digunakan untuk membakar semangat para pemain Madrid ketika mengalahkan Barcelona di Final Copa del Rey 2011. “Ada kekuatan yang jauh lebih besar dari bom atom. Kekuatan dari keinginan”. Konon kalimat itulah yang digunakan Mou pada jeda pertandingan yang harus diselesaikan hingga perpanjangan waktu. Namun berbeda dengan Pep, dia tidak berhasil meninggalkan spirit bertanding yang sama ketika meninggalkan Inter. Sudah terjadi lima kali pergantian pelatih setelah kepergiannya dari Inter. Disinilah letak ego-sentrik dari seorang Mourinho, dia tidak terlalu mempedulikan klub lebih dari ambisi pribadinya. Jauh hari dirinya telah mengatakan ingin menjadi pelatih pertama yang memenangkan tiga gelar Liga Champions dengan tiga klub berbeda. Pastilah banyak yang mencibir dirinya dengan istilah yang berkonotasi negatif dengan ambisi pribadinya itu. Namun menurut saya, itu adalah cara baginya untuk menjaga agar gairah bertandingnya terus menyala. Sesuatu yang mungkin tidak atau belum dimiliki oleh Josep Guardiola. Dengan perginya Pep dari La Liga, itu tidak akan membuatnya kehilangan semangat bertanding. Karena baginya lawan sebenarnya adalah dirinya sendiri, sejauh mana ambisi tersebut tidak bisa lagi diraihnya.

Dengan goal (tujuan) yang sedemikian jelasnya dan di buat secara public committment, saya yakin itu hanya masalah waktu baginya untuk mewujudkan ambisinya. Terlebih lagi dalam implementasinya dia sangat pintar dalam menentukan penumpang dan kendaraan yang tepat untuk sampai ke tujuan. Dia memilih Chelsea, Inter dan kini Madrid sebagai kendaraan karena di klub kaya itu ia bebas untuk menentukan penumpang yang akan dibawanya. Andaikata Roman Abramovich sedikit lebih sabar, pastilah Chelsea akan di bawanya meraih trofi Liga Champions pertamanya lebih cepat. Final itu bukan milik Avram Grant, dan trofi itu bukan pula buah kerja keras Di Matteo, tanpa warisan karakter dan mental juara dari Mourinho.

Sama halnya kita dalam berkarir. Diperlukan kendaraan (perusahaan) yang tepat yang akan kita gunakan menuju puncak karir. Bila kita sekarang sedang bekerja di perusahaan yang tidak besar, maka buatlah besar seperti Mourinho membuktikannya dengan FC Porto. Pantaskanlah diri kita sebelum memilih kendaraan yang lebih besar. Atau dalam kehidupan pribadi, kita perlu memilih “kuda tunggangan” (pasangan) yang tepat untuk membangun keluarga yang berhasil.

Sangat menarik membahas kedua sosok yang sering dianggap bersebrangan ini. Tapi daripada membahas kontroversi dan hal negatif yang semu, akan lebih baik jika kita gunakan akal sehat kita bekerja untuk mencari nilai positif dari mereka. Berdasarkan penilaian diatas, saya lebih menyukai sosok Jose Mourinho lantaran kemiripan secara personalitas belaka. Ini hanyalah pemaparan yang subjektif dari seorang penggemar (bukan pengamat) sepakbola. Oleh karenanya pendapat segala pihak akan sangat saya hargai.

Perlu di tunggu kembalinya seorang Entrenador jenius, Guardiola ke arena sepakbola agar kita bisa melakukan perbandingan keduanya secara menyeluruh. Atau paling tidak mengubah pandangan saya bahwa Mou tidaklah lebih baik ketimbang dirinya. Tapi sejauh Pep belum membuktikan kehebatannya dengan klub selain Barca, Jose Mourinho tetaplah The Special One, and The Only One dalam era sepakbola modern.

Salam Sportivo..!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun