Mohon tunggu...
Resi Asmoro
Resi Asmoro Mohon Tunggu... Auditor - Apaan Sih Ini..? Nggak Jelas Dah Kompasiana Sekarang

Freelance Accounting

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bersyukur

30 Desember 2015   10:31 Diperbarui: 30 Desember 2015   10:31 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu dalam persiapan materi meeting tahunan, bos saya nyeletuk “kira-kira bisa nggak ya kita masukin ‘bersyukur’ di kultur perusahaan”. Dahi saya sempat mengerenyit juga mendengarnya. Karena setahu saya, kultur perusahaan sudah sedemikian sempurnanya untuk diamandemen. Saya lantas bertanya, ada angin apa gerangan hingga baginda hendak merubah budaya kami yang sakral di menit-menit akhir sebelum acara berlangsung. Tidak ada alasan apa-apa katanya. Hanya saja, rasanya kita memang pantas bersyukur atas nikmat dan segala pencapaian yang kita raih selama ini. Tanpa itu, sulit rasanya kita akan mendapatkan pencapaian-pencapaian yang berikutnya.

Dalam perjalanan pulang diatas motor, saya kembali terngiang percakapan tadi. Saya lantas berkontemplasi terhadap diri saya sendiri selama ini. Ternyata banyak sekali kejadian yang memang patut saya syukuri, namun entah sudah atau belum malah. Pertama, rumah kami yang di Cinere. Dulu sempat kami sedikit meratapi lantaran tidak jadi menempati. Rumah pertama yang selama ini kami idam-idamkan, dulunya sempat menguras kesabaran dan pikiran. Mulai dari kontraktor yang amburadul, proses pengerjaan yang panjang, bentuk bangunan yang tidak sesuai dengan standar awal hingga berbelitnya proses legalitas, pernah singgah sebelum kami akhirnya bisa mencicil dengan tenang. Hehehe..

Tapi setelah saya pikir kembali, itu adalah jalan Tuhan yang memang mungkin tidak kami sadari. Ada rumah di daerah Cinere, di dalam cluster yang besar, terletak di pinggir jalan raya persis, posisi tinggi dan saya jamin bebas banjir, ditawarkan dengan kemudahan DP 10% yang bisa dicicil sebanyak tiga kali. Itupun tahun terakhir sebelum pemerintah merubah aturan uang muka minimum sebesar 20% untuk rumah pertama. Akhirnya kami pun nekat, dan ajaibnya, kami tidak perlu menambah defisit uang muka sepeserpun lantaran plafond kredit kami disetujui sebesar 90% oleh Bank Mandiri. Alhamdulillah ya Allah..

Apalagi setelah kemarin saya mengontrakkan rumah tersebut kepada tetangga komplek yang sedang membangun rumahnya selama tiga bulan. Saya baru tahu dari cerita bapak itu (saya lupa namanya, hehehe..) kalau kondisi rumahnya “kurang” sebanyak 0.5 meter dari depan hingga ke belakang. Artinya ada seluas 7,5 m2 yang dinikmati oleh tetangga sebelah rumahnya. Belum lagi air rumah kami yang termasuk bagus, bersih, jernih dan besar keluarnya. Berbeda dengan beberapa rumah sekitar yang kondisi air sumur mereka tidak begitu bagus. Wah, kalau sampai saya tidak bisa mensyukuri itu, saya yakin, sulit rasanya untuk bisa mendapatkan rumah kami yang berikutnya.

Selanjutnya, mobil. Sepertinya saya tidak sendiri untuk yang satu ini. Setelah punya rumah, ingin sekali rasanya memiliki kendaraan yang bisa dipakai untuk bepergian dengan keluarga. Setereotip banget ya kelas menengahnya, hehehe.. Terlebih dulu, istri saya sempat mensyaratkan untuk punya kendaraan sebelum punya anak yang kedua. Karena sulit membayangkan bepergian dengan dua anak dengan sepeda motor di Jakarta. Saya sendiri juga tidak sampai hati untuk menaruh anak saya di depan saya sebagai tameng. Belum lagi resikonya yang saya sendiri tidak mau main-main soal itu. Jadilah kami sepanjang tahun 2015 ini sibuk mencari informasi jenis kendaraan yang sekiranya bisa kami akuisisi. Mulai dari mengumpulkan brosur-brosur di mall hingga datang ke pameran otomotif di Serpong dan Kemayoran juga.

Semua kami jabanin. Hampir semua vendor menelpon saya setelahnya untuk memberikan special price terakhir serta gimmick andalan. Soal kemudahan syarat, jangan tanya. Mobil lebih gila lagi. Kasarnya, berapa uang yang kita punya, saat itu juga kita bisa memilikinya. Entah mengapa, waktu itu saya mengurungkan niat dan menolak Toyota yang sudah sedemikian dekat. Yaris eh nyaris pemirsa.. Kalau saya tidak berusaha waras, mungkin sekarang saya sedang menangis meratapi cicilan yang menggunung.

Lalu keajaiban itu datang beberapa waktu lalu. Istri saya mengatakan kalau dirinya mendapat fasilitas mobil dari kantornya. Saya sih, meresponnya dengan biasa saja. Karena itu bukan hal pertama yang pernah saya dengar. Sudah sejak sekian lama dia menerima janji itu namun berkali-kali pula dia menerima kenyataan pahit. Hingga di suatu Senin dia menelpon saya dan bertanya hendak ditaruh mana mobilnya. Lalu malam harinya mobil tersebut diantarkan kedepan rumah kami oleh Office Boy perusahaan yang baik hati, Mas Jay namanya.

Bukan mobil yang bisa di banggakan memang. Toyota Avanza Hitam tua keluaran tahun 2008 dengan pemutar kaset didalamnya. Tanpa alarm juga kunci elektronik. Tapi ini adalah kembali jalan Tuhan yang memberikan sesuai porsi kami. Saya dan istri kebetulan belum ada yang bisa menyetir mobil sama sekali. Maka ketika ada mobil manual, berbahan bakar premium dimana semua pajak dan perawatan ditanggung oleh perusahaan, nikmat mana lagi yang bisa kami dustakan..? Pasti berat sekali kalau kami harus menanggung perawatan mobil baru boleh nyicil sebagai biaya belajar..hehehe. Sekali lagi, bukan mobil yang bisa dibanggakan. Tapi harus kami syukuri. Karena saya percaya, kalau tidak disyukuri akan sulit rasanya mendapat mobil yang berikutnya.

Sebenarnya ada kisah spiritual mengenai perjalanan kami mendapatkan mobil ini. Tapi malu rasanya bagi saya untuk menceritakannya. Lalu yang terakhir, adalah isteri. Meski dia seringkali berlaku seperti teroris kepada saya, tapi dia adalah orang terbaik yang dikirim Tuhan untuk menemani saya di dunia (semoga akhirat juga ya maa). Kalau mau dipikir lagi, mana ada seorang cantik menawan (setidaknya bagi saya..hehehe), berpendidikan tinggi, punya banyak pilihan, mau menambatkan hatinya kepada lelaki pengangguran, berpendidikan rendah yang bahkan motorpun ia tak punya (kala itu)? Saya tidak bisa berharap lebih tinggi dari siapa yang sudah digariskan menjadi isteri saya sekarang. Tidak terasa, sudah sebelas tahun lamanya sejak pertemuan pertama kami di gang Kompos, Lenteng, sebelum pendakian ke Salak kala itu.

Itu pun harus, dan dengan sangat saya syukuri karena mendapatkan seorang isteri yang kasih sayangnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena kalau saya tidak bisa bersyukur, niscaya akan sulit tampaknya untuk mendapatkan yang berikutnya..hahahaha. Maksud saya rezeki-rezeki besar yang berikutnya.. Maka, masuk akal juga kalau sampai atasan saya berkata demikian waktu itu. Memang sulit masuk di akal kalau apa yang kami raih selama ini tanpa adanya campur tangan TUhan. Mungkin juga, dia lebih kenyang lagi perjalanan spiritualnya sebagai kepanjangan tangan Tuhan dalam menyampaikan rezeki kepada para karyawan dan keluarganya. Ah, whatever lah. Apapun itu, saya cuma mau bilang..

Alhamdulillahirabbil’alamin. Selamat Tahun Baru, semuanya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun