Kerja di perusahaan yang isinya banyak anak muda memang memberi keasyikan tersendiri bagi saya. Suasana kerja yang lebih enerjik, ramai dan seru selalu penuh dengan candaan khas anak-anak baru gede. Hal itu mengingatkan saya dengan kondisi pada waktu masih seumuran mereka. Semua bebas, tertawa lepas bahkan kadang melewati batas. Yang lebih penting lagi adalah saya jadi terkena “forever young syndrom” hehehe.. Jadi berasa awet muda terus. Padahal saya termasuk karyawan yang paling matang (baca : tua) disini. Meski, memang sih usia saya baru lewat sedikit dari kepala tiga. Maklum, bos saya sendiri belum juga berada di angka empat besar.
Nah, guna menyokong kebutuhan perusahaan menjadi barand yang memiliki image muda, fresh dan enerjik dalam pelayanan, maka saya pun harus merekrut anak-anak muda sebagai SDM perusahaan. Setidaknya, kita tidak perlu meragukan kalau mereka berjiwa muda. Tinggal asah skill dan tanamkan Corporate Values saja sambil jalan. Semangat mereka benar-benar seperti tidak ada habisnya.
Kerja extra hours, long hours hingga multi tasking bisa dijalani dengan santai dan riang gembira. Itupun masih diselingi dengan jadwal rutin bermain futsal dan kursus bahasa inggris setiap malam akhir pekan. Kalau bosan dengan rutinitas, biasanya mereka dengan spontan melakukan konvoi beberapa kendaraan menuju luar kota. What a dynamic world for me.
Diluar dampak positifnya, ada hal negatif yang agak mengganggu saya secara pribadi. Kebanyakan dari mereka ini adalah para remaja-remaja single yang lagi sulit-sulitnya mengontrol persoalan hormonal..hehehe. Jam kerja yang lumayan panjang sementara kehidupan sosial yang agak berkurang (seiring tanggung jawab mereka sebagai karyawan), membuat mereka jadi tidak punya banyak pilihan dalam mencari saluran kasih sayang kepada lawan jenis.
Jadilah cinta lokasi tidak dapat terhindarkan di kantor saya sekarang ini. Ada yang cuma cinta monyet, Teman Tapi Mesra, Cinta Segitiga hingga beberapa diantaranya ada yang sukses sampai jenjang pernikahan.
Nah, proses jatuh cinta itu lah yang bikin saya keblinger sama kelakuan mereka ini. Namanya juga cinta, biasanya sih buta. Sering kali kisah asmara ini berbenturan dengan kepentingan perusahaan dalam konteks profesionalisme. Memang sih, kalau di singgung mengenai hal ini, pasti mereka berkilah dengan kalimat “Lho, emang kenapa pacaran satu kantor? Yang penting kan bisa profesional..”.
Begitu kurang lebih jurus penangkal petir ala Dewa Mabuk (asmara) dari mereka. Iya sih, betul. Saya juga tidak akan mempermasalahkan kalau itu bisa dijalankan. Seiring berjalannya waktu, saya yang dulu masih bisa menerima alasan itu kini tidak bisa mempercayainya lagi. Mereka bisa saja bicara begitu selama masih berpacaran. Persoalannya adalah, justru setelah mereka putus lantaran satu dan lain hal. Jangankan setelah pecah kongsi, sedari proses pedekate pun sudah bikin dahi saya mengerenyit.
Tebar pesona ala caleg biasanya sudah ramai semenjak anak baru yang unyu-unyu mendarat di kantor. Kalau sudah begitu, biasanya genderang perang mulai ditabuh. Ada yang melakukan serangan udara di jaringan socmed pribadi. Ada juga beberapa yang memilih jalan agresi darat dengan terang-terangan menawarkan jasa transportasi. Atau malah ada juga yang justru memilih jalan perang gerilya, dengan sembunyi-sembunyi sambil menjalankan fungsi intelijen yang rapih. Disini rumitnya, biasanya yang namanya wanita itu memang suka sekali bila punya banyak penggemar dan pemuja. Jadi mereka bisa saja dengan santai meladeni semua serangan yang dilancarkan beberapa pihak sekaligus.
Ada yang intens sekali jalan dengan si A, berfoto bersama si B di socmed, eh tapi ujung-ujungnya malah jadian sama si C yang gerilya..hahaha. Lha, apa yang salah juga dengan itu? Nah, gini. Buat mereka yang sudah pede gila lantaran sudah sering memboncengi si cewek atau bahkan pamer kebersamaan di Facebook, sudah barang tentu lah kalau harga diri mereka terluka. Malu sudah pasti. Terlebih kalah sama yang gerilya alias “main belakang”. Kebayang dong gimana rasanya kalau disalip di tikungan terakhir. Hal demikian saja sudah membuat suasana kerja kurang nyaman. Mengingat perusahaan saya ini beroperasi 24 jam, dengan beberapa shift yang saling berhubungan. Teamwork jadi taruhan.
Itu semasa pedekate. Biasanya sih, kalau sesama cowok lebih cool lah ya menghadapinya. Saking cool nya, bisa sampai diem-dieman malah..hahaha. Semasa jadian, ya lebih lagi. Menyaksikan sang dambaan jalan berduaan dengan saingan, itu koq ya ibarat..mmm, ibarat… Ah susah lah cari padanannya. Sampai sini, itu sebenarnya sih lebih ke masalah mereka pribadi. Mereka mau panas-panasan saya tidak terlalu terganggu. Masalah sebenarnya baru menyerempet ke wilayah otoritas saya, tatkala pasangan ini telah berpisah.
Memilih menjadi sahabat atau dengan dalih sebagai adik kakak (katanya), alias putus. Ketika diharuskan adanya rolling karyawan ke cabang lain, umumnya mereka akan menolak keras apabila akan dipertemukan kembali. Saya pun akan menjadi orang pertama yang akan diteror oleh pihak perempuan, biasanya. Tapi, apabila saya mutasi semasa jadian, pastilah akan ada nada sumir yang menilai kalau saya sudah tidak profesional alias baper dengan sengaja memisahkan mereka. Kalau yang ini, biasanya sih pihak laki-laki yang akan protes. Bahkan belakangan pola backstreet mulai diterapkan, demi menghindari mutasi (mungkin)..hahaha. Lha, aku kudu piye..? Katanya profesional..? Persoalan makin runcing kalau ada yang terlibat Cinta Segitiga macam sinetron FTV. Hadeehh..tak perlu saya kisahkan juga lah ya.