Mohon tunggu...
DB Asmoro
DB Asmoro Mohon Tunggu... lainnya -

apa sih yang gak buat kalian hahahahaha........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan di Pelukan Suamiku

10 Mei 2015   14:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah hari pernikahan kami, hari dimana burung-burung pipit mengais sisa-sisa terakhir bulir-bulir gabah kering di pelataran rumah. Sepertinya beberapa kali kegagalan dalam bercinta membuat orang tuaku memutuskan untuk menjodohkan aku dengan seorang pria dari desa tetangga. Mungkin mereka sudah tidak percaya lagi akan pilihanku dalam mencari calon suami. Sebenarnya jangankan orang tuaku, segala macam trauma juga telah membuatku putus asah untuk memilih pasangan dalam berumah tangga.

Kabarnya pria yang akan dijodohkandengan ku tersebut, juga baru saja mengalami kegagalan dalam percintaannya. Mungkin itulah yang membuat orang tua kami berpikir untuk menjodohkan kami, supaya kami bisa saling menyembuhkan. Tetapi munginkah dua insan yang saling terluka bisa saling menyembuhkan? Tetapi sudahlah, toh aku juga sudah menyerah dengan segala macam bayang indah akan romansa. Aku tak lagi mudah apalagi remaja, bagiku kini cerita cinta hanya ada dalam Film India atau Drama Korea yang tak pernah menginjak realita.

Dengan berpakaian Adat Bugis kami berdiri di pelaminan, menyalami setiap tamu yang ingin memberi selamat atas pernikahan kami. Semua terlihat gembira, terutama keluarga kami yang terlihat ceria. Suamikupun dengan senyum sumringah, menyambut ucapan selamat dari para tamu yang berbaris di depan pelaminan. Sepertinya bahagia bukan lagi suatu hal yang muskhil bagiku sampai perempuan itu datang berbaris diantara tamu undangan.

Dingin terasa saat dia menjabat tanganku. Sambil memelukku kemudian dia berkata lirih “Jagalah Kak Rais baik-baik kak, dia adalah pria yang baik”. Sebagai istrinya tentu saja aku akan menjaganya dengan segenap kemampuanku, tetapi siapa perempuan itu? apa maksudnya dia berkata seperti itu padaku? Apakah dia meragukanku? Jika dia memang meragukanku, kenapa dia harus meragukanku?

Belum selesai rasa ini bertanya, kulihat perempuan itu dengan gaun semerah senja berawan dan keharuman laksana sedap malam mencium tangan suamiku. Bahkan tak cukup itu saja, dengan isakan yang tertahan dan linangan air mata kemudian dia memeluk suamiku tepat di hadapanku di hari pernikahanku.

Isak tangis haru terdengar di sekelilingku, dari keluarga dan kawan-kawan suamiku. Akupun mulai menyadari siapa kiranya perempuan itu, tentunya dia mantan kekasih suamiku. Berbeda dengan hubunganku bersama mantanku dulu yang harus putus karena keegoisan kami sedangkan orang tua kami tak pernah menghalangi. Hubungan suamiku dengan perempuan itu harus kandas karena perbedaan strata sosial yang ada.

Aku pernah dengar mertuaku beberapa kali memberanikan diri untuk melamar perempuan itu kepada orang tuanya, namun beberapa kali itu juga mereka selalu ditolak. Oh Tuhan, sepertinya kisah ini tak asing lagi bagiku, hampir mirip dengan kisah novel maupun film dan sinetron yang dulu sering aku baca dan tonton saat aku masih sekolah. Dulu aku bermimpi bisa menjadi seperti pemeran tokoh utama wanita dalam kisah-kisah itu. Namun sungguh ironi, sepertinya aku kini malah harus menjadi wanita ketiga yang hadir untuk memisahkan mereka.

Tak terasa air mataku pun terjatuh, entah karena malu, cemburu atau terharu. Malu karena di hari pernikahanku tiba-tiba perempuan itu datang mengganggu, cemburu karena suamiku dipeluk wanita lain di hari pernikahan kami, atau terharu melihat kisah cinta yang seperti itu.

Sebuah keraguan pun muncul pada diriku, mampukah aku nanti mencintai suamiku seperti dia mencintai suamiku? Sebagai sesama wanita, aku paham betul akan perasaannya. Hanya perempuan yang begitu mencintai seorang pria yang mampu melakukan hal seperti ini. Sedangkan aku, hanya karena hal sepele aku bisa begitu mudah marah dan mengatakan putus pada mantan pacarku yang dulu.

Aku mengamati reaksi pria yang ada disampingku, pria yang beberapa waktu lampau bapakku menyerahkanku padanya agar menjagaku. Ini adalah ujian pertama baginya sebagai suamiku, layakkah dia menjadi imam bagiku dan anak-anakku nanti. Jika suatu yang tidak diharapkan terjadi, aku akan segera lari pulang ke rumah dan mungkin tak akan mau menikah lagi seumur hidup.

Terlihat suamiku mengelus lembut kepala perempuan itu, menatap wajahnya dan berkata “Hapus air matamu, karena aku adalah masa lalumu. Suatu hari nanti kau akan bertemu masa depanmu dan bersamanya kau akan menciptakan kenangan-kenangan baru lalu melupakanku”. Alangkah legahnya hatiku saat mendengar perkataan itu. Tetapi aku masih mencemaskan reaksi perempuan itu, aku takut dia akan membuat keributan di pesta ini, aku takut dia tidak akan melepaskan pelukannya dan berteriak-teriak seperti orang gila.

Namun sekali lagi aku harus bersyukur bahwa perempuan itu masih bisa mengendalikan dirinya. Dia memandangku, tersenyum dan kemudian pergi berlalu, menghilang diantara kerumunan tamu undangan. Aku terus memperhatikannya hingga kemudian terasa tangan hangat suamiku menggengam erat jemariku seakan ingin berkata dan meyakinkanku bahwa dia bersamaku.

Perempuan itu telah pergi dan pesta pun usai dengan lancar, namun aku masih belum mengetahui nama perempuan itu. Suatu waktu nanti aku akan bertanya kepada suamiku, bukan hanya mengenai nama namun juga tentang kisah kalian berdua, hal-hal apa yang kalian telah lalui bersama, apa saja yang membuat kalian berduka dan berbahagia, serta apa saja yang dulu kalian cita-citakan bersama.

Akan tetapi itu nanti, disaat kegelapan telah menyelimuti bumi dan keheningan mengiringi kemunculan bulan dan bintang-bintang. Sambil menikmati kehangatan teh di kebun belakang, ku ingin kisah kalian terceritakan. Namun untuk saat ini, siapapun dirimu aku hanya berharap nantinya kau menemukan seseorang yang bersamanya kau akan ciptakan kisah-kisah baru yang nantinya kan kalian ceritakan kisah itu pada anak cucu kalian.

Aku tau kau takkan melupakan suamiku seperti juga bahwa suamiku takkan melupakanmu karena adanya kita dimasa kini adalah karena adanya kita dimasa lalu. Mengingkari masa lalu berarti lari dari kenyataan. Seperti lembar demi lembar yang berjalan di buku harian, kau adalah kalimat-kalimat yang telah tertuliskan sedangkan aku adalah paragraf-paragraf yang akan dinisbatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun