“Dengan ini acara Diklat Prajabatan Golongan III kami nyatakan ditutup” kemudian terdengar suara ketukan palu kayu yang disusul tepukan riang dari sekitar seratus peserta Diklat Prajab tersebut. Wajah-wajah gembira mengiringi gemuruh tepuk tangan tersebut, mereka pasti gembira karena telah keluar dari derita hidup ala Korea Utara selama sebulan Prajab ini.
Namun diantara semua manusia yang hadir di ruangan tersebut, mungkin hanya kami berdua yang tidak menunjukkan wajah gembira. Aku dan gadis yang duduk di sebelah kanan ku, kami hanya bisa berpegangan tangan saat semua bertepuk tangan, semakin keras tepuk tangan tersebut, semakin erat pula jari-jari kami saling mengait dan semakin menunduk pula kepala-kepala kami.
Gadis di sebelah ku tersebut, pertama kali aku melihatnya saat turun dari bus yang membawa kami ke Semplak Bogor tempat diklat ini berlangsung. Saat aku baru turun dari bus, ku lihat dia turun ku lihat dia turun dari mobil Honda CRV dengan seorang pria yang kemudian menurunkan empat buah tas koper besar yang sepertinya adalah bawaan gadis tersebut.
Gadis itu begitu cantik, keanggunannya bagaikan putri keraton, kecantikannya bercahaya dan keharumannya laksana mawar. Semua lelaki pasti berharap pria yang mengantarkannya tersebut hanyalah sopirnya atau paling tidak kakaknya. Namun setelah melihat gaya perpisahan dengan pelukan erat dan kecupan mesra di kening itu, harapan kebanyakan lelaki sepertinya akan sia-sia karena tak mungkin seorang kakak mengecup adiknya seperti itu, apalagi sopir kepada majikannya.
“huuuu........” teriak cemoohan dari setiap orang yang melihat adegan tersebut sontak terdengar ramai dan membuat pria tersebut segera masuk ke dalam mobil dengan muka memerah dan pergi, sedangkan si gadis tersebut hanya bisa menundukkan kepala menahan malu sambil mencoba mengangkati tas-tas dan koper-koper besarnya untuk dibawah masuk ke asrama.
“BRUK....” hanya dalam empat langkah, tas-tas itu jatuh, mereka terlalu besar dan berat untuk dibawah olehnya sendiri.
“sini biar aku bantu bawakan” aku berkata sambil membawa dua tasnya yang berjatuhan.
“terima kasih” jawabnya singkat.
“lain kali jangan melakukan hal norak seperti itu lagi, kita adalah calon abdi negara yang harus bisa menjaga sikap sebagai contoh untuk masyarakat” aku berkata dengan dingin kepadanya. Namun dengan wajah menunduk dia hanya menjawab “maafkan saya”.
*********************
Waktu terasa berjalan begitu lama selama dua minggu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Kota Hujan ini. Aktivitas yang monoton dengan materi pelajaran yang membosankan serasa melengkapikehidupan yang penuh aturan disini. Sampai di suatu saat ketua angkatan ku yang tengil, sok ngartis dan yang merasa dirinya paling keren itu datang kepada ku dan berkata “tadi aku rapat dengan komandan dan ketua angkatan yang lainnya untuk pembentukan panitia inagurasi nanti, atas rekomendasi ku kamu ditunjuk untuk menjadi koordinator sie dokumentasi”
“APA!.... gak salah denger ni aku” aku sontak kaget mendengar kabar itu.
“tidak” si ketua brengsek itu menjawab sigkat.
“tapi kalian tidak meminta persetujuan ku dan aku belum siap” aku berkata sengit.
“hey apa kau pikir kalian meminta persetujuan ku saat menunjuk ku jadi ketua, apa kau pikir aku siap! Lagi pula kamu juga harus mulai belajar menerima perintah-perintah mendadak dari atasan mu nanti” si ketua brengsek itu menjawab sambil berlalu.
“kamu diktaktor otoriter!” aku berteriak
“bodoh amat, pokoknya besok habis apel malam kamu harus ikut rapat di ruang makan angkatan satu, kalo tidak aku akan lapor komandan biar kamu direndem di sungai” jawab si ketua brengsek itu cuek.
******************************
Ruang makan yang berubah menjadi ruang rapat itu sekarang menjadi gaduh dengan lontaran ide-ide terutama dari meja sie acara. Sedangkan di meja ku, meja sie dokumentasi, telah duduk lima orang lainnya dari masing-masing angkatan. Mereka adalah Anisa, gadis berbadan besar nan ceria yang seangkatan dengan ku di angkatan dua. Kemudian Tony yang suka ngupil bersama si mungil Marina dari angkatan tiga. Sedangkan dari angkatan satu ada si Edi yang mirip dengan sosok Emon di film Catatan Si Boy, dan satu lagi adalah Maya, yang bersama pacarnya sempat menghebohkan Badan Diklat di hari pertama.
“baiklah tugas kita adalah mengumpulkan poto-poto dari masing-masing angkatan, dan tiga hari lagi saya harap sudah terkumpul agar bisa kita tampilkan di acara inagurasi nantinya” aku berkata kepada semua anggota sie dokumentasi mengakhiri rapat yang mulai membosankan ini. Namun sialnya di meja sebelah, sie-sie lain masih sibuk berdebat sehingga kami terpaksa hanya bisa menjadi penonton dan pendengar yang baik, karena rapat tak akan bubar sebelum semua usai.
***********************
Suara rintik hujan seperti menertawakan ku yang sendirian menunggu di ruang makan angkatan dua. Sampai seraut wajah dengan rambut basah terurai indah muncul di balik pintu. “maaf saya terlambat” dia berkata dengan gugup dan malu.
“kamu tau sudah berapa lama aku menunggu kalian?diantara ketiga angkatan, hanya angkatan kalian, angkatan satu saja yang selalu lelet! Terus dimana si Edi? Kenapa hanya kamu sendiri yang datang” kataku dengan agak ketus.
“maaf, kemarin flashdisk ku hilang sedangkan si Edi sedang sakit” dia menjawab dengan diiringi sesenggukan isak tangis. “Apakah sikap ku telah membuatnya bersedih dan menangis? Mungkinkah aku terlalu keras padanya?” aku bertanya dalam hati.
Tiba-tiba saja keheningan muncul diantara suara rintik hujan yang terdengar semakin menertawakan dan kilatan cahaya petir yang selalu mengintip malu dibalik jendela. “maafkan aku jika sikap ku melukai mu, sekarang bisakah aku mendapatkan data-data photo yang aku minta?” aku berkata memecahkan keheningan.
“tidak, ini bukan salah mu, ini tidak ada hubungannya dengan mu. Datanya ada di sini, di folder picture, kamu ada kabel data kan?” dia berkata sambil menyerahkan handphonenya padaku setelah sebelumnya mengusap kedua matanya yang sembab karena tangis.
Aku pun menerima hp tersebut, menyambungkannya dengan laptop dan mengcopy folder photo yang aku butuhkan. Sampai kemudian sebuah pesan wassap atas nama ‘Kesayangan’ membuat ku penasaran. Entah setan apa yang merasuki aku sampai tiba-tiba tanpa sepengetahuannya aku membuka pesan tersebut dan membaca semua chat di dalamnya.
Ternyata ‘Kesayangan’ adalah nama panggilan untuk pacarnya. Chat tersebut menceritakan tentang adanya pertengkaran hebat yang terjadi diantara keduanya. Diawali dengan kekecewaan si wanita yang menganggap si pria terlalu kekanakan dan si pria yang menganggap si wanita terlalu kaku. Kemudian berlanjut dengan saling mengungkit kesalahan di masa lalu dan berakhir dengan kata “lebih baik sementara ini kita break saja” dari si pria.
Aku terus membacanya sampai tak terasa sebuah tangan menyambar hp tersebut dan sebuah tangan yang satunya lagi mecubit lengan ku dengan sangat keras. Dengan suara tangis yang tertahan, Maya berkata “kamu itu sudah dewasa kan? Bila begini aku marah sama kamu!”
Setelah itu diapun berlari, dan entah mengapa suara hujan yang tadi terdengar seperti suara tawa sinis berubah terdengar seperti suara tangis yang berderai, diiringi dengan kilatan cahaya kilat yang seperti menatap ku marah.
[caption id="attachment_326249" align="aligncenter" width="626" caption="Photo Pribadi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H