Hujan Panas Kopi
Tulilsan Asmirizani
Panas hari ini sungguh luar biasa, saya tidak menyeruput kopi siang.
Kopi es mungkin lebih enak, tetapi saya tidak pernah mencobanya.
Atau kopi pagi yang tersisa hingga siang ini,
bisa saja saya langsung menegaknya sekali duduk,
tetapi urung.
Panas yang membuat basah wajah dan punggung.
Hawa panas semakin menyegat.
Sesekali angin menerabas wajah, segar sesaat.
Kopi tersisa setengah gelas, kali ini gelas kaca kecil bergambar bunga, tetapi bukan mawar.
Koran di tangan yang sedari tadi belum tuntas dibaca sesekali saya kipaskan, mungkin berharap sejuk,
tetapi apa daya koran malah lusuh dengan berita politik.
Saya berharap membaca koran mendapatkan berita panas, ya, panasnya seperti siang ini.
Berita beberapa pasang anak remaja yang indehoi di hotel berbintang tiga.
Mungkin sedang libur sekolah di hotel atau kepanasan usai sekolah sehingga mengadem di hotel.
Entahlah.
Opi, ujar cucuku mendekat dan menegadah wajah padaku.
Ia menunggu bibir gelas kaca bertemu bibir mungilnya yang saya lekatkan.
Ia menyeruput sekali, dan berkata: aach.
Saya tersenyum, seperti kopi panas saja pikirku.
Hujan berkejaran di atas kepala menggelitik rambut putihku.
Saya tengadah, matahari masih menyinarkan cahaya terang dan gerimis menderu.
Hujan panas kata anakku yang berdiri di pintu.
Saya berlari kecil dan masuk ke rumah.
Di balik kaca rumah, saya melihat hujan panas dan segelas kopi yang terbuka tutupnya.
Pontianak, Borneo Barat, 26/6/2023 (ZN)