Mohon tunggu...
Asmin Safari
Asmin Safari Mohon Tunggu... -

Hak Rakyat atas pemerintahan yang baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Sakral Pemilu Kali Ini

12 April 2009   15:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:13 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rakyat telah menentukan pilihannya, ada yang gembira ada juga yang stress. Bahkan sudah ada yang masuk rumah sakit jiwa atau pengobatan alternatif. Malahan seorang caleg di Bali diberitakan sudah ada yang meninggal. Berbagai ragam ekses ikutan pasca pemilu akhir-akhir ini akan menjadi berita diberbagai media massa.

Partai dan caleg pun sedang asyikmasyuk berhitung, beranalisa dan menimbang-nimbang seperti apa langkah berikutnya yang akan mereka ambil. Praktis hanya Partai Demokrat yang dengan leluasa melukis kanvas model pemerintahan masa datang. Hasil perolehan mereka yang fantastis ternyata banyak mengagetkan berbagai kalangan termasuk partai golkar sekalipun dengan raihan suara diatas 20%.

Apakah Pemilu kali ini sesuai harapan?

Berbagai banyak keanehan muncul dalam pemilu kali ini. Sebuah pemilu yang dilaksanakan sepuluh tahun setelah jatuhnya pemerintahan Suharto. Sebuah masa yang panjang untuk memperbaiki dan selalu belajar atas ketidakbaikan pengelolaan pemilu masa lalu. Sebut saja Daftar Pemilu Tetap yang bermasalah, mulai dari nama ganda, validitas data yang menggelikan sehingga orang mati pun masih tercatat. Sementara yang jelas-jelas ada manusianya dan bertahun-tahun tercatat sebagai penduduk warga setempat pun tidak mendapatkan haknya.

 

Kertas suara pun sangat bermasalah, mulai yang salah sasaran hingga nama caleg yang tak tersebut dalam lembaran surat suara tersebut. Penetapan tanggal pun bermasalah, tanpa memperhatikan kondisi psikologis penganut agama yang ingin merayakan Kamis Suci. Hari pemilu pun dirangkaikan dengan hari libur sehingga banyak warga yang lebih memilih libur dari pada mencoblos eh mencontreng apalagi ditambah dengan DPT yang tak terdaftar.

Di era Suharto, KPPS diwilayah kediaman Suharto langsung bertamu dan mendata siapa saja anggota keluarga yang memiliki hak suara ditahun tersebut. Namun karena mekanisme itu adalah pola orba, maka sudah tidak lagi penting untuk dilakukan, sehingga Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, pun tidak tercatat dikediaman rumah dinasnya.

Pelaksanaan Pemilu pun seperti kisah seribu satu malam atau Bandung Bondowoso yang harus mengerjakan 1000 candi dalam semalam, atau dalam keseharian militer dikenal dengan istilah steling. Semua dilaksanakan dengan serba cepat dan buru-buru tanpa memperhatikan standar baku, kualitas atau prasyarat-prasyarat yang harus terpenuhi. Pendek kata, pokoknya harus terlaksana seperti apapun kondisi dan hasilnya.

Sekarang setelah hari bersejarah itu terlaksana, permasalahan pelaksanaan ternyata belum juga usai. Penghitungan suara pun macet di pusat tabulasi data KPU. Hari ketiga pasca pemilu, jumlah suara yang masuk pun dikisaran 3%. Jika 1 hari kemudian hanya 1%, maka dibutuhkan waktu perhitungan 100 hari, Kecuali masa tenggang waktu pengumuman hasil yang dilaksanakan 9 Mei diundur. Itu pun tidak mungkin karena akan mengganggu jadwal lainnya. Atau akan muncul keanehan lain, pada masa menjelang habisnya masa perhitungan, jumlah suara yang masuk tiba-tiba melonjak tajam. Toh yang akan dijadikan dasar hanyalah pada angka yang telah ditabulasikan. Tidak mungkin melakukan cek fisik lagi. Dan mudah-mudahan hasil KPU nanti adalah data riel, bukan data yang disesuaikan dengan hasil “quick count”.

Saya tidak bisa bayangkan jika pemilu kali ini di era Suharto, pasti seluruh publik akan menghujat pemerintah habis-habisan hingga luar negeri pun memberi komentarnya.

Mari kita melihat sebentar bagaimana pelaksanaan pemilu di era Suharto. Pada masa itu pelaksana pemilu adalah Lembaga Pemilihan Umum. Sebuah kelembagaan yang stabil karena memiliki personil yang tetap dan dengan dukungan pemerintah khususnya Departemen Dalam Negeri. Kenapa Departemen Dalam Negeri? Karena ia memiliki personil hingga tingkat desa. Sehingga asumsinya pelaksanaan pemilu akan terlaksana dengan baik dan sesuai jadwal karena memiliki rentang komando yang jelas dan hirarki yang kuat.

Setelah usai Suharto, mekanisme ini digantikan dengan komisioner yang keanggotaannya berasal dari berbagai kalangan setelah lolos uji di Komisi II DPR RI. Karena kuatnya semangat independensi, peran pemerintah pun dipinggirkan.Sehingga keorganisasisan Komisi ini menjadi lemah, cair dan rapuh. Aturan pelaksanaan pun tidak cepat lahir, berbagai penafsiran pun akhirnya muncul dilapangan karena pelaksana dilapangan dipusingkan atas aturan dalam pelaksanaan pemilu yang multi tafsir, ditambah gizi yang tidak sesuai.

Padahal penanggung jawab atas kelangsungan pemilu adalah Pemerintah. Tanggung jawab itu serta merta tidak bisa diserahkan kepada KPU karena ia hanya pelaksana.

Kecurigaan atas terlibatnya pelaksana pemilu kepada penguasa memang selalu ada bahkan akan selalu ada selama proses demokrasi ini berjalan hingga kapan pun sepanjang civil society gagal membentuk badan pelaksana pemilu yang solid, independen dan canggih. Untuk menepis kecurigaan atas keterlibatan pemerintah, bukankah sebaiknya badan pengawas pelaksana pemilu yang juga harus diperkuat? Pelaksana pemerintahan (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Desa)itu pun sekarang sudah beragam, mereka berasal dari partai yang tidak sama. Sehingga jika konteksnya pemilu nasional, akan sulit bagi presiden atau mendagri untuk melakukan intervensi kepada jajaran dibawahnya untuk memenangkan partai penguasa misalnya. Kondisi saat ini justru semua pihak bisa bermain-main atas perolehan suara pada berbagai level.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun