Ketika kalian mendengar kata Yogyakarta, apa yang terlintas dalam pikiran kalian? Apakah Malioboro? Kraton? Saya akan menceritakan sisi lain dari kota Yogyakarta yang jarang banyak orang ketahui. Ada sebuah pesantren yang berdiri tepatnya di tengah kawasan padat penduduk di Kotagede Yogyakarta.
Nama pesantren tersebut adalah pesantren Al – Fatah, yang membuatnya istimewa adalah pesantren ini merupakan tempat belajar agama islam, kaum transpuan. Transpuan adalah sesorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki – laki namun mengubah orientasi gender dirinya menjadi seorang perempuan. Pesantren ini dipipmpin oleh Bu Shinta Ratri, seorang transpuan yang menerima jati dirinya utuh, tanpa mengurangi hak bertuhan.
Karena inilah pada bulan februari tahun 2016, pesantren ini sempat mengalami penolakan dari warga setempat dan Forum Jihad Islam karena dituding akan menyebarkan ajaran agama yang sesat, perkawinan dan hubungan sesame jenis dengan berkedok persantren, namun pesantren ini mendapatkan dukungan penuh oleh aktivis sosial hingga anggota DPR Republik Indonesia.
Sewaktu saya berkunjung ke pesantren Al-Fatah ini, suasana yang saya rasakan sungguh damai dan penghuninya ramah, terdengar suara nyaring ngaji santri disana. Lantunan mengaji mereka sungguh indah, hingga pelafalan nya.
Namun kemauan belajar mereka sangatlah kuat, hanya tempat tersebut satu satunya yang mau menerima mereka dan satu satunya pula tempat mereka belajar agama di Yogyakarta.
Saya melihat keadaan disana ada yang sebagian sudah memantapkan hatinya untuk berpenampilan sebagai laki – laki dan ada yang masih terus belajar.
Dalam pesantren ini juga terdapat kegiatan seperti setiap jam 4 sore para santri dipesantren ini sudah mulai belajar mengaji, dan disusul kegiatan ceramah yang diisi oleh Ustadz Arif Nur Safri dan Ustadz Yasir. Kelas dalam mengaji di pesantren ini sendiri terdiri dari kelas iiqra, surat – surat pendek, tajwid, dan hafalan bacaan shalat.
Melihat dari sisi kemanusiaan saya sendiri merasa iba, dengan kondisi mereka yang dikucilkan oleh masyarakat, mereka harus mengais rezeki dengan mengamen, berjualan asongan, dan pekerja seks komersial.Â
Untuk beribadahpun mereka diselimuti rasa takut. Walaupun dari sisi agama islam sendiri Allah SWT melarang hambanya untuk mengubah jenis kelamin dan hanya memperbolehkan apabila seseorang mengalami suatu kelainan medis, namun kita sebagai manusia tidak punya hak untuk mengucilkan atau tidak memanusiakan sesamanya.Â
Bukan kah Allah SWT memerintahkan hambanya untuk memanusiakan manusia disekeliling kita. Bukan bagian kita untuk menghukum mereka, tidak sepatutnya mereka mendapatkan diskriminatif dari lingkungan sekitarnya. Bertuhan itu milik siapapun, tidak melihat gender dan ras.
Mungkin sesekali kalian bisa bersilaturahmi kesana saat ke berkunjung ke Yogyakarta, dan kalian bisa menilainya sendiri. tidak harus berkunjung ke tempat wisata yang sudah biasa di Yogyakarta. Mereka menerima siapapun tamu yang berkunjung ke pesantren.Â