Munculnya perbedaan pendapat tentang pentingnya DPR untuk membentuk Pansus Angket Tenaga Kerja Asing (TKA) belum mendesak dan  bahkan cenderung akan menghamburkan anggaran untuk Pansus itu sendiri.
Masih banyak persoalan yang sebenarnya lebih penting untuk diperhatikan DPR, seperti revisi Undang-undang Migas 22/2001 yang seharusnya sudah dirampungkan, padahal sudah lebih dari 15 tahun revisi undang-undang dan belum juga rampung.
Selain itu terbukti Pansus DPR sebelumnya, tidak memiliki pengaruh apa-apa, baik itu Pansus KPK, Pansus Century, dll. Tidak menutup kemungkinan Pansus TKA ini, dijadikan  komoditas politik atau menjadi bahan unjuk gigi bagi anggota-anggota partai untuk membangun imej dan meraih simpati dari pemilih untuk Pilpres 2019.
Terkesan juga isu TKA ini sengaja digoreng untuk menurunkan elektabilitas Jokowi dan memberikan peluang untuk Cawapres lain untuk maju di Pilpress mendatang. Meskipun dari strategi politik itu sah-sah saja untuk dilakukan, tapi tujuan pendiriannya sudah tidak murni untuk membela kepentingan rakyat.
Kalau dibaca di Perpresnya sendiri yaitu PP 20/2018, sebenarnya tidak ada yang terkesan sangat mempermudah, misalnya dalam pasal 5, disebutkan "TKA dilarang menduduki jabaran yang mengurusi personalia dan jabatan tertentu", artinya dibidang managemen masih harus tetap orang Indonesia. Ini sudah sesuai dengan prinsip umum pengelolaan State Owned Enterprises (SOEs) di berbagai negara. Kalau ada yang menyimpang dari itu, maka itu sudah masuk pelanggaran hukum.
Di dalam PP ini juga masih mengharuskan perusahaan Pemberi Kerja TKA (RPTKA) untuk menyediakan informasi dan dokumen seperti: alasan penggunaan TKA, Jabatan dan/ataukedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutam, Jangka wangtu penggunaan TKA dan Penunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan, sebagai mana tercantum di Pasal 7 Ayat 2, PP 20/2018. Â
Kalaupun argumentasi ini tetap dibantah, masih ada argumentasi ekonomi yang bisa digunakan untuk merasionalkan TKA yang datang ke Indonesia. Ini bukan berarti bahwa kita mendukung serbuah TKA datang ke Indonesia. Tapi kita juga harus melihat kondisi ini dengan baik dan berimbang.
Seperti contohnya berapa jumlah TKA Indonesia yang berkerja di Tiongkok, sebagai contoh misalnya Hong Kong, yang notabene merupakan bagian dari negara Tiongkok, jumlah TKInya di 2017, tercatat sebanyak 9.687 ribu jiwa, ini belum meliputi wilayah Tiongkok secara keseluruhan. Dan banyakan dari TKI kita juga adalah low-skill worker, atau pekerja dengan keterampilan rendah seperti pembantu rumah tangga, buruh, pengasuh, dsb.
Itu berarti bahwa, kita tidak bisa dengan begitu saja, menekan tenaga kerja lain ketika kita juga masih butuh mengirim tenaga kerja kita ke negara orang lain. Artinya, kita harus bijaksana menyimak permasalahan ini.
Pertimbangan EkonomiÂ
Selain itu, mau tidak mau, dalam ekonomi harus ada trade-off, yang berarti untuk memperoleh sesuatu  kita juga harus mengorbankan sesuatu. Tiongkok adalah investor nomer 2 dibidang infratruktur setelah Jepang dengan total investasi US$ 5.5 milliar, dengan jumlah investasi sebanyak itu pemerintah harus mengorbankan beberapa celah untuk bisa mendapatkan investasi tersebut. Walau akibatnya jumlah TKA di Indonesia di tahun 2017 sudah mencapai 27.211 orang.