Kesempatan Prabowo untuk mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019 sebenarnya sangat terbuka. Akan tetapi ada tiga pre-kondisi yang salah satunya harus terpenuhi oleh Prabowo dan tim pemenangannya. Prekondisi tersebut yang bisa mengubah probabilitas kemenangan Prabowo.
Prekondisi yang pertama (A) adalah: Prabowo harus memilih Cawapres yang memiliki basis massa yang berbeda dengan basis massa yang selama ini dibangunnya. Dalam strategi pemasaran politik ini masuk pada bagian segmentasi dan voters profiling atau bahasa sederhananya adalah pendataan yang disertai analisa terhadap perilaku dan karakteristik dari pemilih yang diambil berdasarkan data demography pemilih (seperti: usia, jenis kelamin, suku, pendapatan, agama dll).
Kalau hipotesisnya pendukung Prabowo adalah pemilih usia muda, aktif, Islam progressif (kiri), dengan kemampuan menengah kebawah. Maka wakil yang harus dipilih Prabowo harus berbeda dengan segmentasi atau basis pemilih. Dengan kata lain, Prabowo harus memilih orang dari kalangan profesional atau teknokrat islami. Sehingga basis suara dari golongan ekonomi menengah keatas bisa direbut, serta juga merebut suara dari pemilih Islam moderat (kanan). Tapi setelah pemilihan Cawapres tersebut, Prabowo dan tim pemenangannya harus bisa membangun citra yang selaras dengan wakilnya, bukan malah menampilkan imej yang sama. Kalau tidak maka strategi ini tidak akan bisa berhasil.
Prekondisi yang ke dua (B) adalah: Prabowo memberikan mandate Capres ke orang lain, yang memiliki basis suara yang sama dengannya tapi dengan imej yang baru, seperti misalnya Gatot, dan Cawapresnya sebaiknya dari profesional/teknokrat dan Islam moderat, dengan begitu akan dapat merasionalisasi strategi kampanye yang betul-betul berdasarkan fakta dan capaian yang terukur sehingga dapat menjawab capaian kinerja yang telah dilakukan Jokowi.
Sebenarnya ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh Prabowo untuk merebut basis pemilih Jokowi, terutama pada pemilih yang berada pada kategori kelas menegah.Â
Menengah disini adalah pemilih yang sangat sensitif terhadap perubahan kemampuan daya belinya atau bahasa teknisnya adalah Emerging Middle dan Aspirant. Boleh dikatakan inilah akar rumput pemilih Jokowi hampir 88 juta orang, mencakup 45% dari total pemilih. Suara mereka ini sebenarnya sudah tergerus karena merasa kemampuan ekonomi mereka melemah akibat fluktuasi harga barang konsumsi yang tidak sebanding dengan peningkatan pendapat mereka. Ini disebabkan oleh kebijakan harga BBM yang mengikuti harga pasar. Pemilih yang kecewa inilah, yang berharap ada alternatif baru (asal bukan Jokowi dan Prabowo).
Prekonsidi yang ketiga (C) adalah: Prabowo menjadi Cawapres Jokowi, dengan begitu ia akan memiliki waktu yang cukup untuk membangun kekuatan dari dalam dengan menempatkan orang-orangnya di post-post strategis. Dengan demikian Prabowo, akan mampu menyusun kekuatan dan jaringan untuk maju di Pilpres selanjutnya. Tapi ini akan merubah secara drastis, dinamika dan kontur pemilih, karena masing-masing pihak memiliki basis pemilih yang emosional. Sehingga kalau mereka bersatu, kemungkinan besar basis suara (patah hati) akan berbalik ke calon alternatif.
Kalau dibandingkan antara kondisi A, B dan C dikaitkan dengan rentang waktu yang tersedia, sebenarnya opsi yang memiliki probability yang besar adalah option C. Karena untuk Option A, dibutuhkan waktu yang cukup untuk membentuk imej. Apalagi jeda setelah kemenangan Jokowi, tidak dimanfaatkan baik oleh timnya untuk membentuk pencitraan baru. Apalagi sudah jelas-jelas strategi pemasaran politiknya tidak sukses. Kalau tim pemenangannya tetap kekeh menerapkan strategi yang sama, maka saya yakin akan gagal.
Kecuali mereka memilih opsi B, karena membangun imej orang yang baru atau orang yang sudah terbentuk imej sesuai dengan kehendak pasar akan lebih mudah dan menarik untuk dipasarkan, dan ini juga tidak membutuhkan waktu yang lama.Â
Opsi B, juga lebih baik ketimbang opsi C, karena resikonya lebih terukur dibanding dengan opsi C. Apalagi kalau muncul calon alternatif yang tidak terukur kekuatannya, serta ditunjang dengan tim yang tidak solid baik diantara tim Jokowi dan Prabowo, mengingat bahwa tim dari masing-masing pihak belum tentu memiliki hubungan emosional yang baik, maka sudah pasti hasilnya pasti tidak baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H