Maraknya bisnis berlabel dan berkedok agama di Indonesia membawa pengaruh yang positif dan negatif. Dampak positifnya adalah banyaknya pilihan yang diberikan kepada masyarakat sehingga memungkinkan kompetisi pasar yang intensif yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi konsumen.
Kompetisi yang sehat akan menghasilkan barang dengan kualitas yang bagus dengan harga yang kompetitif. Akan tetapi dampak negatif dari bisnis berlabel agama yang hanya semata-mata digunakan untuk kepentingan bisnis atau pencapaian keuntungan pribadi, maka faktor agama hanya menjadi basis branding untuk meraih perhatian dan simpati dari konsumen baru.
Kasus-kasus Besar
Pada prakteknya banyak pelaku usaha menggunakan label Agama bukan karena dasar ibadah akan tetapi hanya berdasarkan pada pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya. Misalnya saja kasus First Travel, bisnis yang bergerak dibidang penyediaan jasa travel umrah buat ummat Islam. Kerugian yang disebabkan oleh penggelapan dana ummat ditaksir mencapai 1 trilliun Rupiah dengan jumlah konsumen yang dirugikan sebanyak63.310Â calon jamaah.
Penyelewengan dana konsumen ini diduga digunakan untuk kepentingan pribadi dari pemilik usaha First Travel, seperti untuk pembelian barang pribadi berupa rumah, kendaraan, pembelian aset usaha, hingga investasi ke jenis usaha lainnya di luar negeri.
Berselang tidak lama dari kasus First Travel muncul kasus baru dari jenis travel yang serupa yaitu kasus Abu Tour. Abu Tour sendiri merupakan bisnis yang juga bergerak dipenyediaan jasa travel umrah. Abu Tour dikelola dan dimiliki oleh Abu Hamzah, seorang pengusaha muda berasal dari Sulawesi Selatan.
Kasus Abu Tour Travel lebih parah dari dengan kasus First Travel, dimana dana jamaah yang raib ditaksir lebih dari1 Trilliun Rupiah. Jumlah jamaah yang belum diberangkatkan tercatat sebesar 86.720 jamaah dari seluruh Indonesia, dengan jumlah jamaah paling besar berasal dari Sulawesi Selatan. Â
Penanganan Kasus Abu Tour yang Sempat Terkesan Lamban
Penanganan kasus Abu Tour sendiri terkesan lamban dibanding dengan penanganan kasus First Travel. Kasus terbilang pelik karena 4 faktor utama. Pertama, banyaknya jumlah jamaah yang dirugikan bisa menghasilkan dampak keamanan politik yang siginifikan, apalagi menjelang pilkada. Sayangnya kasusnya masih terkesan sepi dan kurang ditanggapi oleh pemerintah regional dan pusat, apalagi kasus ini secara didukung oleh tokoh besar seperti Aksa Mahmud. Aksa Mahmud sendiri adalah pendiri dari Bosowa yang memiliki banyak cabang usaha diantaranya adalahBank Bukopin.
Padahal seandainya kasus ini menjadi jualan politik pilkada dengan jumlah jamaah yang dirugikan akan dengan mudah untuk meraup suara pemilih. Sayangnya hal ini sepertinya tidak menjadi perbincangan politik yang menarik.
Faktor kedua adalah, banyak agen yang bertugas untuk merekrut jamaah menggunakan dana pribadi mereka dan juga merekrut jamaah baru dari orang-orang yang ada disekitar lingkungan mereka seperti keluarga dan teman. Sehingga beban psikologis yang berat dan rasa malu apabila kasus ini kemudian diproses melalui jalur hukum. Karena akan pupus harapan mereka untuk diberangkatkan. Oleh karena itu jumlah jamaah yang melaporkan kasus ini masih relatif sedikit dari persentase jamaah yang belum berangkat hanya 400-an jamaah yang melapor, atau sepadan dengan 0.5% dari total jamah yang belum berangkat. Sehingga terkesan kasus belum memiliki urgensi secara besar.