Mohon tunggu...
Asmiati Malik
Asmiati Malik Mohon Tunggu... Ilmuwan - Political Economic Analist

Political Economist|Fascinated with Science and Physics |Twitter: AsmiatiMalik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Simbolisme Agama dan Emosionalisme Penganutnya

14 April 2018   09:39 Diperbarui: 19 April 2018   07:07 4045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi, Sumber PhotoFirestock.ru

Munculnya paham populisme yang ditandai dengan kemenangan POTUS Donald Trump dan keluarnya Inggris dari Uni Europa (Brexit), seakan-akan mengindikasikan bahwa ekonomi menjadi faktor utama terjadinya perubahan kondisi sosial masyarakat menjadi lebih sensitif dan emosional (pemarah).  

Dugaan tersebut didasari oleh terjadinya krisis finansial di Amerika Serikat, yang kemudian, secara simultan menimpa negara-negara yang memiliki keterkaitan ekonomi yang erat dengan Amerika.

Cukup mengejutkan ketika munculnya anggapan bahwa paham populisme tersebut juga menimpa Indonesia. Ini bisa dilihat dengan munculnya gerakan progresif yang membawa bendera, nilai dan simbolisme agama di ajang politik, seperti pemilihan Gubernur Jakarta terdahulu, seperti misalnya gerakan Islam progressif yang diduga membawa kemenangan untuk Anies Baswedan.

Terlepas apakah gerakan tersebut menjadi tunggangan politik atau tidak, yang menarik adalah peristiwa tersebut mengungkap perubahan kondisi sosial masyarakat yang lebih sensitif dan emosional. Karena nyatanya pemicu gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor ekonomi tapi lebih didasari oleh faktor emotional attachment.

Contoh baru-baru ini adalah reaksi masyakat terhadap puisi Sukmawati yang terkesan sangat emosional, tetapi ketika peristiwa yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak seperti kasus korupsi trilliunan pengadaan Alquran atau travel umrah reaksinya jadi biasa-biasa saja.

Masyarakat yang populis cenderung sangat sensitif dan emosional ketika menghadapi hal yang tidak sesuai dengan pandangan hidup mereka.

Hal itu tidak disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan disebabkan oleh adanya perubahan kontur budaya dan nilai-nilai yang dipahami. Perubahan itu juga tidak terjadi mendadak tapi bertahap.

Bagi orang-orang yang lahir tahun 80-an, perubahan masyarakat tersebut sangat terasa. Di tahun 80-an, hal yang lumrah dan sangat biasa perempuan ke pesta perkawinan memakai kebaya tradisional yang cukup transparan dan biasa untuk perempuan dihiasi dengan konde, namun itu tidak lantas menjadikan mereka sebagai objek penilaian masyarakat, apalagi menjadi objek pembicangan ke arah seksual.

Akan tetapi, sekarang terjadi perubahan nilai, orang yang tidak mengikuti atau tidak sejalan dengan 'pandangan' golongan tertentu seolah-olah kemudian menjadi lawan yang harus dipaksa untuk membentuk kesepahaman yang sama dengan mereka.

Emosionalitas dan Kebijaksaan

Menurut pakar psikologi, Mutiasari Abikusno, pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sensitif dan emosional terhadap nilai-nilai agama dan budaya yang dipercayainya, karena dari kecil, nilai-nilai tersebut sudah ditanamkan sehingga sudah masuk di alam bawah sadar mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun