Mohon tunggu...
Asmi Nur Aisyah
Asmi Nur Aisyah Mohon Tunggu... Jurnalis -

Lulusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebijakan Bidikmisi bagi Nonbidikmisi

12 Desember 2013   20:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:00 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya masih memakai salah satu internet provider dengan modem portabel, saya kesulitan membuka website universitas saya, sehingga sedikit terhambat untuk melakukan registrasi dan bahkan mendapatkan informasi langsung tentang perkuliahan. Saat itu, saya baru saja melapas seragam putih abu yang saya kenakan, namun masih dalam masa tunggu perkuliahan. Sebagai solusi, saya pergi ke warnet acap kali hendak membuka website universitas. Ketika itu saya hendak melihat biaya perkuliahan yang bukti pembayarannya diperlukan untuk registrasi.

Saya pergi ke warnet dengan perasaan was-was, karena sebelumnya saya sempat bertukar SMS dengan teman-teman satu universtas yang sudah membuka website tersebut untuk melihat biaya kuliah per semester mereka. Dua teman saya, yang masuk FKG Unpad, mengatakan bahwa mereka mendapati biaya yang harus mereka bayar adalah biaya tertinggi dari rentang biaya yang ada, yaitu 13 juta rupiah. Teman saya yang lain, yang juga masuk Unpad di fakultas lain, juga mengaku mendapatkan tarif pembayaran tertinggi dari rentang yang ada.

Kemudian saya takut. Bagaimana dengan saya?

Syukurlah, saya tidak senasib dengan mereka yang mendapatkan tarif tertinggi dalam biaya kuliah semesteran. Saya mendapatkan jajaran biaya menengah, yaitu 2.500.000 per semester, yang berarti orang tua saya harus menyisihkan gajinya sekitar 400.000 per bulan untuk membayar biaya kuliah saya. Setelah saya komunikasikan dengan orang tua, biaya dalam rentang itu cukup bagi mereka, yang memiliki tanggungan 3 anak di luar saya dan adik saya sebagai anak kandungnya. Orang tua saya berprofesi sebagai guru, yang memang profesi guru saat ini saya pikir sudah cukup sejahtera karena adanya program sertifikasi. Sekalipun seandainya mereka menyanggupi biaya tertinggi, yaitu 6 juta rupiah, saya tetap merasa waswas dengan melihat jumlah tanggungan yang ada.

Pembayaran dengan sistem UKT ini saya rasa cukup bijak namun juga janggal. Seiring dengan berjalannya perkuliahan, teman saya yang kuliah di FKG dan beberapa teman yang sefakultas dengan saya mengeluh dengan ‘ketidakadilan’ yang mereka dapatkan.  UKT ─ Uang Kuliah Tunggal ─ yang dibayar berdasarkan penyesuaian dengan gaji, kekayaan, serta tanggungan, yang dituliskan lewat formulir yang lengkap dengan data NPWP itu terasa berat bagi beberapa kalangan, namun juga adil bagi sebagian lainnya. Teman satu kosan saya mengaku, dia memiliki teman yang satu fakultas dengannya yang biaya semesterannya sama dengan saya, yaitu 2.500.000. Yang membuatnya merasa tidak adil adalah, teman saya itu memiliki banyak gadget yang mewah serta tinggal di kosan elite, yang biaya per tahunnya nyaris mencapai 20 juta rupiah. Sedangkan, saya yang mesti membayar kuliah dengan biaya yang sama dengannya, hanya mampu tinggal di kosan yang biayanya 5 juta rupiah per tahun, itu pun terasa sedikit berat dengan biaya listrik yang terpisah, yakni membayar lagi 50 ribu per bulan.

UKT saat ini menjadi tabu bagi beberapa kalangan, terutama yang merasa ada ketidakadilan di dalamnya. Saya jadi penasaran, dimanakah letak kesalahan pembagian biaya kuliah ini? Apakah mahasiswa terkait telah memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataannya ketika mengisi formulir untuk registrasi? Ataukah pihak universitas yang memilihkan biaya kuliah dengan cap-cip-cup kembang kuncup?

Selain kami yang harus membayar biaya kuliah per semester, beberapa teman kami bahkan tidak harus membayar sama sekali dengan syarat harus lulus tepat empat tahun. Mereka juga tinggal secara gratis, bahkan mendapatkan tunjangan per semesternya. Yap. Mereka adalah penerima beasiswa bidikmisi. Saya rasa, alangkah bijaknya jika peraturan yang mereka terima juga diterapkan kepada kami, orang-orang yang tergolong mesti membayar biaya kuliah. Kebijakan yang mengharuskan peserta bidikmisi menyerahkan informasi sebenar-benarnya terkait tanggungan, pendapatan, jumlah kekayaan, dan sebagainya, mengapa tidak diterapkan juga kepada kami? Bahkan, untuk membuktikan kebenaran informasi, peserta bidikmisi disurvei secara langsung oleh pihak penyelenggara beasiswa tersebut, termasuk survei langsung ke rumah untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Apabila kebijakan seperti ini juga diterapkan kepada mahasiswa nonbidikmisi yang saat ini harus membayar biaya kuliah dengan sistem UKT, maka informasi yang sebenarnya pasti juga bisa tersampaikan. Pada akhirnya, tidak akan terjadi ketabuan bagi kami, mahasiswa nonbidikmisi, dalam membayar biaya kuliah yang sekarang memakai sistem UKT ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun