Mohon tunggu...
Asmawatty Lazuardy
Asmawatty Lazuardy Mohon Tunggu... -

Hidup Untuk Disyukuri\r\nHidup Untuk Sukses\r\nHidup Untuk Berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Rise of True Love... ♥9♥

13 Oktober 2011   03:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:01 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku tengah asyik membuang kegalauan hatiku pada satu koloni ikan Flounder yang berebut plankton dengan sekelompok Sand Knifefishes, mengintip dari balik lensa Liquid Image Scuba Series HD320, sebuah kacamata selam yang dilengkapi dengan kamera video.

Sekonyong-konyong, entah datang darimana, sebuah bayangan hitam datang mendekat. Kupikir hiu atau sekawanan dolphin, namun segera kusadari bahwa sosok penyelam dengan wetsuit biru kehitaman itu, tak lain adalah, Jasmine!

Gila ! Nekat benar dia ! Apa maunya, gadis ini menyusulku kemari?

Tak ingin terjadi insiden lagi, Aku bergegas, bersiap naik ke permukaan. Gelembung-gelembung udara bermunculan seiring dengan ayunan sepasang kaki katak yang terbungkus sepatu karet dengan sirip yang melebar di bagian ujungnya.

Namun Jasmine dengan cepat memburuku!

Gerakannya sigap, menghalangi maksudku naik ke permukaan air. Dia terlihat memegang sesuatu. Bukan Muck Stick, Shark Stick, atau Reef Stick seperti biasa dibawa para penyelam, tapi…

“Stay where you are… Wanna talk to you here… Please”

Jasmine menunjukkan sebuah underwater writing slate gear board, sebuah papan berukuran medium yang umum digunakan dalam scuba diving.

“Bicara? Di sini? Di kedalaman laut ini? Apa pula yang ingin dibicarakannya lagi?, “Batinku tak mengerti. Namun tetap kunanti, apa yang dimauinya saat ini.

Masih belum hilang keterkejutanku akan kehadirannya dan aksinya yang demonstratif itu, kini dengan takjub kulihat dia mengikatkan sesuatu di atas board itu. Sebuah tulisan di atas kertas putih yang terbungkus plastik… tulisan yang entah kapan telah dipersiapkannya.

“I love you, Aditya… Let me stay beside you for the rest of my life here in your beautiful island... I’m pleading you…”

Aku masih sulit mempercayai kenyataan bahwa dia dapat menyusulku secepat ini… Dan kini semakin tak percaya dengan apa yang tengah dilakukannya di kedalaman biru dengan tatap matanya yang tepat mengarahku dan mantra ajaibnya yang menumbuhkan gelembung-gelembung penghambat jalan nafasku…

***

Senyum di bibir Davy terbit secara hati-hati. Meski di hatinya ada bahagia tak terkira, namun ini bukan waktunya clink the glasses, lalu lantang berseru ‘cheers’!!

Davy tahu keputusan Jasmine lahir bukan dari lubuk hati dan pikiran yang sejalan. Tidak satu persen pun!

Namun Davy tak peduli tentang seberapa parah luka di hati Jasmine hingga akhirnya memberinya keputusan mendadak semacam ini. Setelah usaha bujuk rayunya sekian lama yang nyaris membunuh harapan di hatinya, pantas baginya berbahagia meski itu sama saja mengorbankan perasaan Jasmine yang sesungguhnya.

“Tunggulah di luar! Aku janji tak akan kemana-mana, “Suara Jasmine bersuhu di bawah nol derajat, mengusir Davy yang hendak mengikutinya hingga ke dalam pondok.

Di kamarnya, Daeng Siti telah menunggunya dengan raut penuh iba, cemas dan kesedihan yang membuat siapapun enggan menatapnya.

“Ayo Daeng, jangan hanya mematung, bantu saya melepas baju dan melipatnya, “Kata Jasmine dengan senyum yang dipaksakan.

“… Baik-baik menjaga pak Jun, ya Daeng, “Dipeluknya Daeng Siti dengan hangat dan erat, sebelum kemudian melukar baju yang tengah dipakainya. Perempuan tua itu terlihat terus menerus menyeka air mata dengan sudut di ujung kain sarungnya.

Tanpa memilih lagi, Jasmine mencomot sepasang atasan dan bawahan dari baju-baju lama yang dibawa Davy. Dia sama sekali tak ingin ada satupun benda yang terhubung dengan Aditya masih menempel di badannya.

Buat apa? Toh, dongengnya bersama Aditya sudah sampai di titik nadir, yang tak mungkin kembali ke titik zenith.

Tidak! Tidak mungkin! Sangat tidak mungkin!

Setelah semua usaha yang dilakukannya tidak mendapatkan hak untuk dipertimbangkan, tapi langsung diputuskan dengan penolakan yang sedemikian kejam.

Tak pernah diduganya Aditya akan mampu bersikap sekeji ini. Dia bisa memahami ketak-acuhan sikapnya selama ini, dan jarak yang terus dijaganya. Tapi hanya sampai ini saja harga dirinya ditekan serendah yang dia bisa.

Jasmine menyeka sudut matanya yang basah. Batinnya masih bicara dengan penuh luka…

Aditya…, Mengapa kau bangunkan aku dari kematian yang sudah mengitariku... Untuk apa susah payah kau pompa semangat kehidupanku bila pada akhirnya kau membunuhnya sekejam ini...

Jasmine membuang pandangan matanya ke luar jendela. Kotak kecil pembatas dirinya dengan ketinggian di luar sana, yang berada tepat di samping tempat duduknya kini.

Begitu terlukanya, hingga luka itu sanggup membunuh traumanya pada pesawat terbang. Menghapus seketika pengalaman terburuknya bersama Adam Air. Hingga Ia sendirilah yang memutuskan naik pesawat daripada kendaraan darat seperti yang disarankan Davy.

“Pesawat saja, Davy! Lebih cepat sampai, itu sungguh lebih baik! Jauh lebih baik…, “Kata Jasmine dengan wajah berhias hampa. Seolah jiwa tak sedang bersamanya… atau telah ditinggalkannya nun jauh di pulau sana…

Deru mesin pesawat terdengar bergemuruh. Sesekali guncangan terjadi saat badan burung besi itu melanggar sekumpulan awan.

Jasmine menyeka lagi airmatanya… danau di pelupuk mata yang saat ini tidak mengenal musim kering.

Awam putih di luar jendela entah sejak kapan mengubah warnanya menjadi kelabu. Seperti bayangan kelabu yang satu demi satu muncul kembali dalam benak Jasmine…

“I love you, Aditya…”

… Just go! Kembalilah kepada keluargamu…

“Let me stay with you…”

…Tempatmu bukan di sini…

“I want to spend the rest of my life here… Just right beside you”

… Ikutlah dengan Davy. Barangkali lingkungan keluarga akan mempercepat ingatanmu kembali…

“Aku tak inginkan masa laluku… Kau yang bangunkan aku dari tidurku… Kaulah masa depanku, Aditya…”

Guncangan di badan pesawat semakin terasa. Jasmine masih bermain dengan ingatannya tentang Aditya. Dan masih tak menyadari apa yang tengah terjadi, bahkan ketika jerit kepanikan mulai terdengar di sepanjang koridor penumpang.

Jasmine kembali menyeka air matanya… Mengapa tak surut juga padahal entah sejak kapan tangisnya dimulai…

Dimana pernah kurasakan guncangan seperti ini? Jasmine bertanya dalam hati.

Danau di kedua matanya kembali memantulkan bayangan sosok Aditya yang berlari mengejarnya di atas landasan berpasir yang lembap dan lembut di telapak kaki…

Kini langit benar-benar telah gelap. Terang sejenak ketika petir menggelegar. Dan ledakan yang terdengar entah dimana… Asap hitam dan lidah merah yang panjang menjilat… membungkam jerit tangis dan doa-doa yang dipanjatkan dalam pekik kepanikan di sepanjang kabin…

Jasmine masih sibuk menyeka air matanya…

Aku pernah mengalami ini… Aku pernah mendengar jeritan ini… Tangisan dan suara orang-orang yang berlomba mendeklamasikan doa… Memanggil-manggil nama Tuhan… Sungguh, Aku pernah mengalaminya… Tapi kapan dan dimana ?

Ah, itu dia Mama Ida ! Dia datang menyapa… tersenyum ramah dengan kehangatan yang menyeruak dalam dada… Itu Davy yang ceria… Davy yang mengekor kemanapun ku pergi… Dan itu aku yang berlari dari satu bus ke bus yang lain…. Berlari di antara geladak kapal… Berganti memegang mike yang berkepala bulat hitam… Aku nampak cantik di setiap pemunculanku dalam kotak ajaib bernama televisi…

Kini kutahu siapa diriku Aditya… Perempuan beruntung dengan karir di puncak gunung…

Aku sudah bisa mengingat semuanya Aditya… Aku bahkan bisa mengingat kemana pesawat ini akan mendarat…

Sebentar lagi Adit, pesawat ini akan menukik tajam… usai ledakan dahsyat di ekornya, dan sebentar lagi juga sayapnya yang tepat di samping jendela tempatku duduk, patah dan hancur dalam kepingan yang meluncur dan meluncur terus saling dulu mendahului, begitu bebas tanpa hambatan ataupun tali pengekang…

Lalu bau avtur yang menyengat hidung dan membuat pening di kepala… Panas yang membakar dan mengelupas tiap sel kulit, merobek tiap lubang pori-porinya…

Kemudian perairan yang semula dingin berangsur menghangat… sebelum kembali dingin lagi serta gelap yang pekat…

Ah, Adit… Usahamu tak sia-sia, Aditya…, sungguh ingatanku kini telah kembali… Aku dapat mengingat semuanya hingga detil terkecil yang dulu susah sekali hinggap di kepalaku…

Tapi dimanakah aku kini? Ini bukan pulaumu… Tak ada pondokmu di sini… Tak ada kapalmu juga…

Mana ikan-ikan yang hilir mudik tepat di mukaku… Mana coklat hangat yang kau seduh untukku… Mana sepasang Daeng yang berjanji menjadi pengganti orang tuaku…

Mana pasir putihmu tempatku biasa berguling dan bermain dengan ombak yang bau anyir dan amis…

Mana pula dirimu yang pernah ulurkan tangan… tawarkan secercah harapan pada kehidupan yang nyaris terbuang…

***

Di sebuah pulau yang berkurang penghuni… hanya debur ombak yang memecah sunyi… dan gemerisik nyiur menambah bunyi…

Seorang lelaki berdiri sendiri, tengadah menatap langit malam yang berselimut jelaga gulita. Sorot matanya menangkap pendar cahaya terang di ketinggian nun di atas sana... Cahaya merah kuning oranye yang yang berpendar bagai bunga api yang merekah kemudian berpencar saling memisahkan diri dalam bentuk percikan kecil sebelum akhirnya gelap kembali…

Sepasang matanya tenggelam dalam laguna airmata…

***the end***

Gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun