Daeng Siti nampak ragu meninggalkan perempuan muda itu seorang diri saja di bibir pantai. Langkah kakinya masih satu-satu. Sementara mata tuanya tak henti menatap sosok semampai yang nampak tengah bercakap dengan samudera biru.
“Saya janji akan baik-baik saja, Daeng…” Terngiang kembali janji si perempuan muda yang terus berusaha meyakinkannya.
Semoga Tuhan selalu bersamamu, Putriku. Daeng Siti membatin. Tergesa Ia kembali ke pondoknya, sebelum Aditya memergoki perbuatannya yang pasti mengundang murkanya.
Angin pasang berhembus kencang. Debur ombak pun tak kalah garang. Hanya batuan karang yang tegak diam, bersabar dalam gempuran ombak dan sapuan bayu, yang lembut mendayu atau pun kencang mengguncang.
Si perempuan tegak dalam kehampaan hati dan pikiran. Jiwa dan benaknya pun sama kosong. Berkali telah dicobanya untuk mengerti hikmah terbesar yang diperolehnya ketika hidup ditiupkan kembali ke dalam raganya. Namun helaan nafas itu, jelas mengarah ketidak-pahaman.
Jadi, namaku Jasmine. Dan aku adalah satu-satunya korban yang selamat dari air plane crash itu. Itu sajakah ? Bukankah sejarah pasti ada melihat wujud kedewasaanku ini ? Apa sejarahku ? Siapa orang tuaku ? Di belahan bumi manakah aku sebelumnya ? Masa lalu seperti apakah yang pernah kulalui ?
Perempuan muda bernama Jasmine itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir beragam pertanyaan yang susul menyusul menghantam benaknya. Berpuluh kata tanya terus mendesaknya mencari jawab, namun entah akan ditanyakannya kepada siapa…
Keberuntungannya di tempat ini pun, masih sulit untuk dimengertinya. Dan tak seorang pun dikenalnya, kecuali sepasang orang tua yang sangat baik hatinya. Lalu, ceruk yang agak menjorok ke dalam pantai inilah, satu-satunya tempat yang terasa sangat familiar baginya. Karena di sinilah, menurut cerita Daeng Siti, tempat dimana dirinya ditemukan oleh si pemilik pulau yang…
”Hei… !! Kau… Apa yang kau lakukan di sini ?!”
Jasmine cepat menoleh. Gerai rambutnya segera menutupi wajahnya. Terkejut oleh datangnya petir di siang yang cerah dengan langit biru meriah. Perlahan disibaknya dengan malas… Ah, si tuan pemilik pulau yang…
”Kau pikir, apa yang sedang kau lakukan ?! Cepat kembali ! Bikin pusing orang saja ! Kesehatanmu belum sepenuhnya pulih !”
Aku tidak sedang berpura-pura marah. Kuharap perempuan itu bisa melihat dengan jelas kegeraman di wajah dan rahangku yang naik turun.
Dan betapa gemasnya aku, melihatnya nampak begitu ringkih, bersimpuh lunglai di atas pasir, seperti kapal yang berlayar dalam kegelapan di tengah samudera maha luas, tanpa GPS, tanpa bintang, dan padamnya sinar dari mercu suar. Benar-benar minus semangat hidup…
Cepat kurenggut tangannya sebelum ketakutanku benar terjadi. Takut pada rasa putus asanya itu, akan membuatnya berkeputusan yang irrasional.
”Leave me alone ! Aku ingin di sini… sendiri ! , ”Parau suaranya merongrong hati. Tanganku ditolaknya dengan kasar.
… Kau ? Mengapa kau selamatkan aku… ?! Buat apa juga, kalau tak ada yang bisa kuingat selain nama… dan sebab musababku berada di pulaumu ini ! Itu pun bukan karena daya mengingatku yang telah kembali, tapi orang lain yang memberi tahuku. Mengapa ? Mengapa harus kau selamatkan aku ? Di sinilah asalku, maka biarkan aku kembali ke asalku… !!!”
Perempuan itu berteriak histeris. Kakinya menjejal-jejal hamparan pasir putih yang kini mengubur separuh betisnya. Ombak bergantian datang dan pergi menyiram. Beberapa cangkang nampak terombang-ambing antara daratan dan lautan, usai ditinggalkan penghuninya….
Pasir ini, di sinilah tempatnya pertama kali kutemukan dirinya… Dan sekarang kembali kutemukan dirinya tergolek lemas tak berdaya…
Susah payah kuangkat tubuh semampai yang kembali terkulai. Ini kali kedua aku harus menggendongnya dari daratan berpasir yang sama… tempat yang sama pula saat pertama kali kutemukan dirinya.
Bisa kupahami dengan baik tekanan jiwa yang membuatnya seolah tak mampu melihat jalan menuju masa depan. Kehilangan ingatan, adalah salah satunya.
”Maafkan istri daeng, Pak Jun. Katanya, dia tidak tega dengar si Putri terus merengek minta diantar ke ceruk di pantai itu, ”Daeng Udin menunjukkan penyesalannya yang mendalam atas sikap istrinya yang dianggapnya paling bertanggung-jawab atas insiden pingsannya si putri kali ini.
”Ngga pa-pa, Daeng… Saya mengerti. Minta tolong daeng Siti untuk menukar bajunya yang basah dan suruh cepat menyadarkannya. Dia baik-baik saja. Tubuhnya melemah karena jiwanya yang terus dia biarkan dalam tekanan…”
Kutinggalkan tubuh basah dan berpasir itu di atas lantai kayu. Menutup pintu rapat-rapat, dan membalas anggukan hormat daeng Siti yang tergopoh dengan menggegam baju kering serta minyak obat penghangat.
***next episode will be later on***
Gambar dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H