[caption id="" align="alignright" width="240" caption="Ilustrasi diunduh dari Google"][/caption] PRESIDEN SBY dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke-65 RI di Gedung DPR kembali mengungkapkan keprihatinan terhadap praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Praktik politik uang, tidak akan membawa kesejahteraan. Sebaliknya membawa kesengsaraan rakyat akibat korupsi. Pernyataan SBY ini dapat dimaknai ada keinginan mencari bentuk pilkada lebih murah. Termasuk alternatif penyelenggaraan secara serentak yang dalam beberapa kasus di daerah dipandang dapat menghemat biaya. Walaupun ada banyak ekses negatif yang dihasilkan, banyak pihak termasuk SBY menyatakan jika pilkada secara langsung masih cara terbaik dalam memilih kepala daerah secara demokratis. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya melihat fakta-fakta seputar pilkada 2010. Dari 244 daerah menyelenggarakan pilkada hingga Agustus sudah digelar 174 daerah. Dari jumlah itu, 163 berjalan baik, dan 11 ada dinamika. Sementara itu, sebanyak 140 perkara perselisihan hasil pemilu kada didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari jumlah itu, 119 perkara sudah diputuskan dengan 11 dikabulkan, 72 ditolak, 33 tidak diterima dan tiga ditarik. Dari sisi biaya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pilkada yang berlangsung di berbagai daerah 2010 menelan biaya Rp4,2 triliun. Ini anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah (pemda) untuk penyelenggaraan dan dana kampanye yang ditanggung para kandidat. Meski beberapa pihak menaksir angka jauh lebih besar daripada BI. Namun jumlah ini tetap saja sangat berarti ketika masih banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan daripada dihambur-hamburkan untuk biaya kampanye. Potensi Korupsi Agaknya sudah menjadi rahasia umum bila para kandidat tidak hanya mengandalkan pembiayaan dari kocek pribadi. Dengan prakiraan biaya rata-rata per calon bupati atau wali kota Rp40 miliar-Rp60 miliar serta gubernur di kisaran Rp75 miliar-Rp100 miliar, tentu sangat sulit bila hanya ditanggung seorang kandidat. Beberapa kandidat gubernur, bupati maupun wali kota di berbagai daerah sengaja bekerja sama dengan konsorsium pengusaha yang mempunyai jaringan langsung dengan pemangku kebijakan di Jakarta. Dukungan mereka direalisasikan dalam bentuk pembiayaan survei, pemasangan atribut. Hingga money politics yang disisipkan ke dalam berbagai program, seperti pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan tempat-tempat ibadah dan sekolah, bea siswa ataupun pemberian bibit kepada para petani. Akibatnya, tentu bisa membayangkan bagaimana para gubernur, bupati atau walikota terpilih "terpenjara" oleh keharusan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan gaji, seorang bupati mendapatkan penghasilan gaji pokok Rp6 jutaan ditambah tunjangan-tunjangan dan gubernur Rp8 jutaan ditambah tunjangan-tunjangan. Bisa dibayangkan bagaimana seorang kepala daerah dalam lima tahun dapat mengembalikan modal kampanye itu. Namun karena tingginya biaya kampanye itulah hingga tidak mengherankan bila para kepala daerah begitu rentan dengan tindak pidana korupsi semasa mereka memerintah. Konsekuensi yang diminta para "investor" ini tentu berwujud aneka rupa proyek pembangunan daerah yang bernilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Celakanya lagi, pengusahaan proyek-proyek itu langsung ditangani mereka yang mempunyai akses langsung ke berbagai departemen. Hingga baik bupati, wali kota atau gubernur sering kali hanya tinggal menandatangani tanpa bersusah payah melobi ke Jakarta. Modus lain yang dapat dikenali, pada proses pengadaan barang dan jasa. Dengan cara mark up, penunjukan langsung, atau lewat proses tender tidak fair. Hingga tidak mengherankan, bila dari berbagai kasus korupsi di daerah yang ditangani KPK karena terjadi pada pengadaan barang. Peran Aktif Partai Paparan berbagai fakta praktik politik uang dan korupsi ini menyiratkan ada suatu hal yang salah dalam sistem pilkada di negeri ini. Sudah saatnya pula partai aktif mendorong komitmen calon kepala daerah tidak korupsi. Tak sekadar retorika. Namun didukung mekanisme internal yang memberikan sanksi tegas terhadap mereka yang bermain-main dengan korupsi. Hingga, proses demokrasi yang tengah dibangun tidak dicederai oleh proses. Dan praktik ilegal sekelompok makelar atau oknum-oknum yang hanya ingin mengambil keuntungan materi tanpa memerhatikan dampak moral bagi masyarakat. Memang, membicarakan sistem alternatif pengganti sistem pilkada langsung bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh pemikiran dan kajian mendalam agar tidak terjebak pada pengulangan kesalahan-kesalahan sebelumnya. Termasuk mengenali, memetakan potensi-potensi terjadi politik uang serta bagaimana memperbaiki mekanisme pengawasan dalam setiap tahapan pemilihan. Karena itu, momentum pembahasan revisi undang-undang tentang Politik akan menjadi tonggak penting mengevaluasi sekaligus menentukan arah pilkada ke depan. Agar kelak tak harus diakhiri dengan penjara sebagai ganjaran. Asmar Oemar Saleh Ketua Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM DPP Partai Demokrat, Advokat dan Mantan Deputi III Kantor Meneg-HAM RI Catatan: artikel ini dimuat juga Di Jurnal Nasional, Jum'at 27 Aug 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H