Platform Partai, Nyawa Partai
Dimuat di Koran Jurnas
Mon 20 Sep 2010
PARTAI Demokrat, adalah partai pemenang pemilihan umum 2009. Ada tanggung jawab dan harapan. Harapan Partai Demokrat makin kuat, dengan jumlah pemilih lebih banyak, di masa depan. Dan tanggung jawab menjadikan partai ini, tak hanya besar, juga berkualitas. Kebesaran menuntut tanggung jawab. No blesse oblige. Kita ingin partai ini bisa menjadi lokomotif perbaikan kualitas demokrasi dan perbaikan substansial kesejahteraan rakyat Indonesia dalam makna luas.
Tentu ingin itu bukan harapan kosong atau wishful thinking. Harapan yang bermakna menuntut tanggung jawab dan kerja keras, yang berlawanan dengan sikap berpuas diri. Kita sadar, sering kali lebih sulit mempertahankan kesuksesan daripada mencapainya. Ada setidaknya dua analisis yang bisa membantu melihat masa depan Partai Demokrat. Analisis pertama mewakili optimisme: partai ini akan membesar dengan mengandalkan pada “efek gerbong” (bandwagon effect); bahwa gerbong besar akan menyeret lebih banyak orang. Analisis kedua mewakili pesimisme: partai ini akan mengecil, meredup peran jika tidak punah.
Meski kita berharap analisis pertama benar, analisis kedua tak bisa diremehkan sama sekali. Dalam beberapa kali pemilihan umum belakangan ini melihat partai-partai besar tumbang dengan suara menyusut; sebutlah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Partai Demokrat tidak kebal terhadap ancaman seperti itu.
Di masa depan, ada kepentingan Partai Demokrat menambah suara. Pengalaman sekarang ini menunjukkan, meski partai terbesar yang menguasai kursi terbanyak (26 persen) di parlemen, Partai Demokrat tidak berkuasa mutlak. Kondisi itu menuntut Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk koalisi dalam penyusunan kabinet yang membawa komplikasi tersendiri. Watak Partai Demokrat, baik di parlemen maupun di kabinet, seperti kehilangan jati diri. Ini suatu hal yang mengancam eksistensi di masa depan. Menambah suara adalah tantangan besar sama besar tantangan dengan mempertahankan suara yang ada.
Sigit Pamungkas, pengamat politik Universitas Gadjah Mada, mengingatkan, meski memenangkan pemilihan umum 2009, dan meningkat suara sangat fantastis, yakni 300 persen dalam lima tahun terakhir, Partai Demokrat “dapat lenyap secara mengejutkan seperti kehadirannya yang mengejutkan.” (Kedaulatan Rakyat, 15 April 2009).
Pemilih Partai Demokrat, menurut Sigit, bukanlah pendukung yang militan karena ikatan-ikatan yang bersifat ideologis. Mereka adalah pemilih rasional-pragmatis, yang mudah berpindah ke lain hati jika argumentasi yang bersifat rasional lenyap.
“Keberadaan pemilih ini sangat tergantung pada kepribadian tokoh yang menjadi simbol partai, kinerja pemerintahan, dan situasi internal partai lain,” ucap Sigit.
“Semua kelompok pemilih itu memberikan dukungan kepada Partai Demokrat dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini adalah pemilih yang relatif kritis. Pemilih ini melabuhkan suara untuk sementara waktu.”
Tantangan bagi Partai Demokrat tak hanya mempertahankan pemilih lama dan memikat pendukung baru dalam persaingan ketat dengan partai-partai lain. Tantangan lebih besar mungkin justru muncul dari kecenderungan sikap antipartai politik yang makin mengemuka belakangan ini.
Beberapa survei belakangan ini menunjukkan merosotnya pamor partai politik secara keseluruhan. Survei LP3ES pada 2004 menunjukkan, mayoritas absolut (64 persen) responden yang diteliti menyatakan tidak yakin partai politik menyuarakan kepentingannya. Jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 2007 mengonfirmasi kecenderungan itu. Responden di 10 kota besar Indonesia rata-rata menempatkan partai politik di urutan terbawah sebagai agen penyampai aspirasi kepentingan rakyat.