Hampir setiap malam dipenghujung Ramadlan ini dia duduk diujung dermaga, menunggu KM Pulau Baru, atau kapal penumpang lainnya tiba dari Dumai. Dinginnya angin malam tak dihiraukannya meskipun tubuhnya yang kurus itu hanya dibalut sehelai jaket lusuh, dia tetap setia menunggu hingga kapal tiba dan seluruh penumpang benar-benar sudah naik semua.
Begitulah seterusnya yang dia lakukan sampai akhirnya hatiku tergerak untuk bertanya siapa gerangan yang ditunggu oleh pak Tua ini.
"Menanti seseorang Pak ?" tanyaku.
"Ya," jawabnya singkat sambil mengangguk, terlihat raut wajahnya seakan menyimpan harapan besar, harapan tentang sesuatu yang selalu dinantikannya pada setiap akhir Ramdlan.
"Kalau boleh tau, siapa gerangan yang bapak tunggu ?" tanyaku.
 "Anakku," jawabnya sambil tersenyum.
"Sudah berapa lama anak bapak tidak pulang?" tanyaku lagi, dia terdiam kemudian menghela nafas panjang, seolah-olah pertanyaanku menjadi beban berat yang membuat dia lelah.
"Sudah cukup lama," desisnya perlahan sambil matanya menatap jauh kedepan. "Dia meninggalkan kampung ini sejak tamat es em a ditahun delapan puluh yang lalu, dan kini sudah tahun yang kedua belas dia tidak pulang," Â sambungnya dengan suara lirih.
"Bapak merindukannya ?"
"Tentu saja aku merindukannya, dia anakku," jawabnya
"Sekarang tentu bapak merasa bahagia, karena sebentar lagi anak yang bapak rindukan itu akan tiba." Kataku dengan nada sedikit bercanda.