Lung Bisar tersenyum-senyum kecil ketika melihat Mak Sumiati berkemas dipenghujung Ramadlan tahun ini, warung tempat dia biasa nongkrong makan rujak, pecal dan menyeruput kopi itu kini tutup untuk dibenahi, kursi meja dirapikan, dinding warung yang kusam dipoles dengan cat, sehingga nampak lebih jreng.
Kerja besar Mak Sumiati ini disambut gembira oleh Lung Bisar, dia merasa senang melihat warung Mak Sumiati berganti Cat, padahal antara dia dengan Mak Sumiati tidak tidak ada hubungan apapun, kecuali hubungan antara penjual dan pelanggan.
Perubahan sikap Lung Bisar yang sedemikian rupa ini mengundang rasa penasaran diantara rekan-rekannya, apa gerangan yang membuat Lung Bisar menjadi ceria, apakah dia mendapat Durian runtuh atau menemukan malam Lailatul Qodar.
“Ceria betul Ramadlan tahun ni Lung ?” Tanya Cu Busu
“Ada deeeeh,” jawab Lung Bisar sambil senyum-senyum dikulum, membuat Cu Busu semakin heran. Cerita tentang perubahan sikap dan keceriaan Ramadlan Lung Bisar ini kian menyebar kepelosok negeri, hampir setiap orang membicarakannya, mulai dari diwarung tempat nongkrong sampai ke surau-surau tempat mengaji, hingga akhirnya sampailah kabar tersebut ketelinga gurunya Tuan Khalifah Haji Bachtiar.
“Ceria betul Ramadlan tahun ini Lung ?” Tanya Tuan Haji Bachtiar.
“Iya Tuan,” Jawab Lung Bisar dengan senum khasnya.
“Kalau dapat rezeki, jangan lupa berbagi,” kata Tuan Haji Bachtiar. “Ingat Lung dalam rezeki kita itu ada hak fakir miskin yang harus dikeluarkan,” sambung gurunya itu lagi.
“Ah, tidaklah tuan, saya gembira bukan karena mendapat rezeki, tapi ........ kata-katanya terputus hingga disitu dan disambut secepatnya oleh Haji Bachtiar dengan pertanyaan.
“Tapi apa Lung ?”
“Tapi, karena hutangku sama Sumiati sudah lunas.” Jawab Lung Bisar
“Kapan kau lunasi ?”
“Aku tak melunasinya, tapi ...... dia berhenti sejenak, kemudian disambung oleh Tuan Bachtiar dengan pertanyaan.
“Mak Sumiati merelakannya ?”
“Tidak juga.”
“Lha, dibayartidak diikhlaskan juga tidak, koq tiba-tiba bisa utangmu menjadi lunas ?” Tanya Haji Bachtiar dengan heran.
“Iya Tuan, Mak Sumiati itukan selalu mencatatkan utang kami pada dinding warungnya, termasuklah utang saya dan utang Cu Busu. Kini tuan lihat sendirilah, dinding warung Mak Sumiati sudah bersih, dinding yang dulu kusam kini sudah mengkilat dan disitu tidak ada lagi coretan dan catatan utang kami, semuanya sudah ditimpa dengan cat dinding yang baru.” Jawab Lung Bisar dengan senyum-senyum simpul.
“Astaghfirullah,” jawab Haji Bachtiar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Terhapusnya catatan utang bukan berarti membuat utang menjadi lunas, utang yang belum dibayar tetap saja menjadi kewajiban kita untuk membayarnya, sekalipun catatannya sudah terkubur kedalam tanah.” Jelas Tuan Bachtiar dengan nada serius.
“Dari dulu Mak Sumiati itu tidak memiliki buku khusus untuk mencatat utang pelanggannya, dia berjualan dengan secuil harapan meraih keuntungan untuk menyambung hidup. Dia menjadi tempat melepas sesak lapar dan dahaga bagi orang yang kurang beruntung dengan cara makan minum dulu bayar belakangan. Semuanya itu dilakukannya dengan tulus, jangan kau rusaki dengan cara-cara tak patut seperti itu,” ujar Haji bachtiar dengan nada serius.
“Tapi tuan,”
“Tidak ada tapi-tapian, utang harus dibayar meskipun catatannya sudah terhapus,” sergah gurunya itu sambil berlalu meninggalkan Lung Bisar yang terpaku bingung, sementara itu dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara Takbir menggema keangkasa, pertanda Syawal sudah menjelang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H