Sudah begitu lama terpendam keinginan untuk bersilaturrahmi kepondok Pesantren Hubbulwathan Duri, pondok yang dulunya didirikan oleh Allahyarham Tuan Faqih Abdur Rahman Rafie, ditahun 1937 disebuah dusun yang bernama Rimba Melintang, (kini merupakan sebuah kecamatan diwilayah Kab. Rokan Hilir).
Aku ingin bertemu dan bercengkerama dengan Abdullah Syarif, anak Tuan Faqih dan adik kelasku waktu SD dulu yang sampai kini masih tetap setia menjalankan amanah orang tuanya menjadi guru dipondok ini.Â
Aku juga merindukan Abdullah bin Ismail, cucu kesayangan abah Pokih yang jadi mantri kesehatan, entah dimana kawan ini sekarang.
Aku juga rindu kepada Tuan Haji Muhammad Khotbah Arrafie, atau yang biasa dipanggil sebagai Buya HaMKA Riau, guruku yang juga suami dari Maimunah, teman sekelasku waktu SD dulu.
Selain itu, aku juga merindukan sosok Ustadz Karim dan Ustadz Khair, dua orang guru juga sahabat ayahku. Keduanya kini sudah tiada, tinggal batu nisan yang bertuliskan namanya diatas pusara.
Begitu menjejakkan kaki kedalam komplek Pendidikan Hubbulwathan, ingatanku langsung melayang kemasa silam.
Dimana sebelum berdiri ditempatnya yang sekarang ini  (Kota Duri) Pondok Pesantren ini harus menempuh sebuah perjalanan panjang yang penuh lika liku, mendaki tebing yang terjal dan menuruni jurang yang curam, dan melalui jalan yang penuh onak dan Duri.
Sejarah Pondok Pesantren ini mulai dari berdirinya pada tahun 1937 didusun Rimba Melintang, kemudian hijrah ke Bagan Punak dan akhirnya hingga sekarang labuh jangkar di Duri sudah pernah ditulis secara detail dan panjang lebar oleh Buya Hamka, dalam bukunya yang berjudul Rekam Jejak Hidupku.Â
Saya sudah membacanya dengan seksama dan berulang-ulang, disitu tercatat secara runut mulai dari proses berdirinya Hubbulwathan hingga sampailah seperti sekarang.
Waktu itu Buya Hamka menjadi calon anggota legislative dari PPP. Aktif  berkampanye kian kemari, dan merupakan figure sentral yang menyita perhatian public.