[caption id="attachment_416998" align="aligncenter" width="320" caption="Maafin kakek, Pa..."][/caption]
Suaranya masih terus meninggi kasar, tak layak didengar, sementara ibu menitikkan air matanya sambil memeluk adik-adikku. Api matanya tajam menatapku buas, apalagi yang ingin ia katakan, biarlah sampai ia puas, sampai ia lelah karena amarahnya. Tak mengapa, karena ini yang terakhir kalinya aku berhadapan dengan monster di rumah kecilku. Giginya gemeretak rasa ingin menelan tubuh kurusku.
“Kau mau pergi dari rumah ini? Pergilah! Aku tak butuh anak sepertimu, dibesarkan bukan malah berbakti sama orangtua, malah setiap hari melawan.”
Tak kujawab, aku hanya diam, namun mataku tetap menantang. Aku sudah bosan dengan ini semua. Anak tak berbakti katanya, seperti apa anak berbakti itu. Apa hanya sekadar ucapan manis saja, padahal busuk maksudnya. Cukuplah sudah aku menjadi sapi perahnya, sesekali aku ingin menjadi banteng yang membara kemana aku mau.
“Mak, bungkus semua pakaiannya, biar tau dia kehidupan di luar. Melihara anak seperti dia, buat rugi aja. Udah dibesarkan tak tau balas budi,” ucapnya pada ibu. Ibu takut dengan bentakannya, ia pun tergopoh-gopoh masuk ke kamar membungkus pakaianku.
Aku masih diam, gigiku pun gemeretak, telingaku sudah panas sekali. Rugi membesarkanku, aku juga tak pernah meminta hidup, tak ingin meminta dilahirkan, apalagi dilahirkan dari benihnya. Lantas kenapa ia bisa bilang seperti itu? Apa karena seorang ayah sesuka hatinya saja berbuat dan berucap di keluarga ini.
“Kau bawa pakaianmu, jangan pernah pulang lagi!” dicampakkannya tas di hadapanku.
Kulihat wajah ibu, juga wajah adik-adikku yang lucu, tapi tak ada lagi kelucuan di wajah mereka sekarang, karena suara monster menakutkan di depan kami. Ya Tuhan, aku sayang mereka, aku tak bisa meninggalkan ibu dan adik-adik. Siapa lagi nanti yang membela mereka kalau pria tua ini mengamuk-ngamuk kesetanan,
Sepertinya kesabarannya sudah habis, ia mendekatiku, lalu menarik lenganku, “Pergi kau dari rumah ini! pergiii!”
Digeret paksanya aku ke luar pintu, aku menurut saja tak berontak, dan kupuas-puaskan memandangi orang yang paling kusayangi, ibu dan adik-adik semakin histeris menangis. Wajahnya pun kutatap lekat-lekat, orang yang paling kubenci dan juga orang yang kusayangi.
Gubrakk . . suara pintu dibantingnya. Aku menghela napas panjang, kuayunkan langkah kakiku keluar dari teras rumah. Hujan menyambut kedatanganku di dunia luar, sesekali guntur menggelegar hebat memekakkan telingaku, kuat sekali, aku sampai takut. Kucari benda apa saja di sekitar rumahku, yang penting bisa menaungiku dalam perjalanan. Kulihat karung beras, itu bisa dijadikan mantel.
Tak ada tujuan kakiku melangkah di tengah lebatnya hujan deras ini, pepohonan bergoyang-goyang dihantam angin, ranting-ranting gemeretak jatuh hampir mengenaiku. Ingin lari saja rasanya, tapi mau lari kemana? Alam sudah sempurna mengepungku. Sesekali kulihat ke belakang, berharap ada kendaraan yang lewat. Namun, tak ada satu pun kendaraan yang lewat, aku melangkah lagi, terus berjalan sampai sejauh-jauhnya dari rumah. Air mataku mulai menetes, bercampur dengan tempias hujan. Ya, Tuhan, kenapa bisa begini hidupku, salahkah hambaMu ini? Salahkah seorang anak sepertiku?.
***
Minggu pagi. Hari yang menyenangkan bagiku, dan keluarga kecilku. Mentari gagah mulai menyingsing dengan sinarnya yang lembut ke halaman hijauku. Di beranda rumah, aku menikmati benar-benar pagi ini, kicauan burung kenari dari sangkar pun ikut menyambut pagi yang cerah ini. Di halaman sebelah kiri, gemericik kolam menambah melodi irama kehidupan. Kuseruput kopi hitam dari cangkir, untuk menemaniku membaca koran edisi hari Minggu.
Mei, anak semata wayangku jahil bermain dengan kucing anggora keluarga kami. Ia tertawa nakal karena sudah menjahili sahabatnya itu, aku tersenyum melihat tingkahnya. Bagaimana tidak, si Gogo ditutup kepalanya dengan plastik. Gogo itu nama kucing kami. Setelah tertawa puas, Mei melepaskan lagi plastik di kepala Gogo, lalu menciuminya sembari meminta maaf. Ah, anak kecil ada-ada saja tingkahnya.
“Sayang, jangan gitu dong! Kan kasian si Gogo, tuh lihat wajahnya manyun,” ucapku pada Mei.
Mei tertawa, kelihatan giginya yang geripis, “Iya, Pa,” ucapnya lagi pada Gogo, ”maafin, Mei ya Gogo, tadi Mei khilaf,” ia menggendong Gogo, dan menganggukkan kepala si Gogo.
Astaga, pakai khilaf segala.
“Sayang, sini duduk dekat papa,” aku memanggil Mei.
Ia pun mendatangiku denga menggendong Gogo dengan tangan kanannya. Kemudian duduk di pangkuanku.
“Dapat kata dari mana, Mei kata khilaf?” tanyaku. Kuelusi rambutnya yang bergelombang. Rambutnya seperi mamanya, bergelombang panjang.
Mei malu-malu, mungkin ia sadar sudah sok besar tadi, “Ibu guru yang ajarin Mei. Kalau kita
Salah, kita harus minta maaf. Karena manusia itu sering khilaf. Makanya, Mei minta maaf sama Gogo. Ya kan Gogo?” ia anggukan kepala si Gogo.
Ya, Tuhan, aku sendiri terkadang lupa apa itu kata maaf, dan apa itu kata khilaf.
“Oh gitu, iya bener, itu bagus, kalau kita salah, kita harus minta maaf. Anak papa pintar sekarang,” aku memujinya sambil menciumi ubun-ubunnya.
Beberapa saat kemudian, Nia datang dan duduk di seberang meja setelah beres-beres di dapur. Wajahnya tak jauh beda dengan Mei, mungkin Nia kecil seperti Mei sekarang.
“Mas, tadi ibu nelpon, ayah sakit keras sekarang. Ibu suruh kita menjenguknya. Mumpung sekarang liburan Mei, Mas. Ayolah kita jenguk ayah,” mata Nia memohon.
Tak kujawab iya atau tidak, aku membuang wajah memandang air pancuran kolam di halaman rumah.
“Gimana, Mas? Ayolah, mas kita berangkat menjenguk ayah!” digusarnya lenganku.
“Sayang, main-main dulu sana sama Gogo, papa mau bicara penting sama Mama,” aku turunkan Mei dari pangkuanku. Ia mengangguk menurut, kemudian bermain lagi dengan Gogo di taman hijau kami.
“Nia, aku belum bisa menerima kisah itu, aku belum bisa memaafkannya.”
Nia menghela napas panjang, “Mas, aku tau, aku bisa paham kisah Mas masa kecil. Tapi, Mas, setidaknya bisa menerima kenyataan hidup. Apalagi itu sudah terjadi bertahun-tahun silam, Ayah juga selalu ingin meminta maaf padamu, Mas.”
Mata Nia teduh memohon, berharap aku bisa berdamai dengan kisah kecilku. Melupakan semua kepahitan hidup yang pernah kualami semasa kecil. Kupandangi Mei dari kejauhan, ia ceria sekali bermain-main dengan Gogo. Kemudian kubandingkan dengan kisahku dulu. Ayah seperti apa ayahku itu, tak pernah sedikit pun membuat kami bahagia, jangankan bahagia, cukup tenang saja itu sudah sangat membahagiakan kami. Tapi perlakuannya, selalu terbalik dari harapan kami. Marah-marah tak jelas, main pukul, memaksa kami harus cari uang sendiri. Ya, kami memang sapi perahnya yang dicambuk. Mengenang itu semua dendam ini semakin mengeras.
“Gimana, Mas, besok kita berangkat?” tanya Nia kesekian kalinya.
Aku menggeleng, “Kamu saja dengan Mei, aku antar kamu ke bandara besok.”
Mata Nia memicing, “Ya Tuhan, tak bisakah sedikit pintu maaf Mas dibuka?, ayah sekarang sudah sakit keras, Mas. Mungkin saja ada permintaan terakhir dengan, Mas?”
“Aku tau, apa permintaan terakhirnya, hanya maaf,” ujarku tegas.
Air muka Nia berubah, “Kalau tau, lantas kenapa nggak dikabulkan, Mas?”
Aku menyeruput kopi yang mulai mendingin, “Sudahlah, aku tak mau membahas ini lagi. Nanti kita bertengkar akhirnya,” kataku lagi, “kamu siap-siaplah sekarang, siapkan pakaian Mei, boneka Mei, dan semua kebutuhannya.” Aku beranjak dari kursi tamu beranda rumah, lalu mendekati Mei yang sedang asik bermain dengan Gogo.
Mendengar kataku Nia merebahkan punggungnya di kursi. Dia sudah lelah, aku pun demikian, pertengkaran selalu terjadi karena masalah ayah, ayah, dan ayah. Kami sudah lelah bertengkar. Kemudian Nia masuk kedalam rumah dengan wajah berbingkai masam.
“Papa bicara apa tadi sama mama?” tanya Mei memasang wajah penasaran.
Aku menggendong Mei mengelilingi taman hijau di halaman, “Urusan orangtua sayang, nanti kalau kamu udah besar, baru boleh tau.”
“Ayo dong, Pa! Kasi tau Mei, Mei sekarang kan udah besar. Mei udah tau maaf. Kata ibu guru, kalau kita bisa saling memaafkan, itu tandanya kita udah dewasa. Nah, Mei tadi kan minta maaf sama Gogo. Berarti mei udah besar dong. Yeee . .” kata Mei bernada orang dewasa.
Aku tertawa lebar, “Iya sayang, anak papa sekarang udah besar, udah cerdas, udah cantik kayak Mama. Hm . . terus apa lagi ya?”
“Mei udah kayak Papa, baik, penyanyang, suka manjain Mei dan lain-lain.”
Mei tertawa cekikikan, ia ciumi pipi kananku. Sementara si Gogo terus mengikuti kami mengelilingi taman.
“Hm, terus apa dong yang papa bicarain sama mama tadi?” desak Mei.
“Besok pagi Mei dan Mama brangkat ke rumah nenek,” jawabku.
Mei tepuk tangan kegirangan, “Horeee . . ke rumah nenek, bisa jumpa kakek, bisa jumpa paman, terus juga bisa jumpa bibi.”
“Kali ini papa ikut kan?” air mukanya berubah.
Aku tersenyum, “Nggak sayang, maafin Papa ya? Papa besok ada kerja, dan itu sangat penting.”
Bibir kecilnya meruncing, “Iyahhh, papa nggak asik. Selalu aja ada alasan kalau mau berkunjung ke rumah nenek.”
“Iya lho, sayang, papa memang sibuk Minggu ini. Janji deh, papa nyusul.”
Ia mengacungkan kelingking kanannya, “Janji ya?”
Kelingking kami pun terkunci, “Iya, papa janji.”
Gigi geripisnya kelihatan jelas. Aku hanya membuat Mei senang saja, tidak mungkin aku pulang ke rumah itu lagi. Tak akan pernah, selamanya tak akan pernah.
***
Seorang pria tua terbaring tak berdaya di kamar, yang dulu gagah kini lemah hanya mampu berbicara terpatah-patah. Rambutnya sudah memutih, tubuhnya kurus sekali, hanya tulang yang terbalut kulit. Ia sering menyebut nama seseorang, Dimas, maafin ayahmu ini, nak, maafin ayah. Orangtua itu sekarang sadar, sepanjang hidupnya ia melantarkan istri dan anak-anaknya. Tak ada lagi wanita-wanita cantik menemaninya yang dulu ia bangga-banggakan. Harta yang ia tumpukkan dulu pun terkuras habis untuk biaya pengobatannya sendiri. Untunglah, rezekiku sekarang baik, adik-adikku tak pernah mengeluh karena kekuranga uang saku kuliah. Uang belanja ibu pun selalu kukirimi setiap minggu. Namun, itu tak mengurangi kesedihannya, ia hanya menemani suaminya yang terbaring bertahun-tahun.
Sekarang celoteh Mei mampu menghangatkan keluarga di kamar, orangtua itu tertawa lebar melihat cucunya yang lasak. Nia pun sering kali mengingatkan agar jangan mengganggu kakek, tapi itulah anak-anak terkadang, lebih mendengar kakek dan nenek yang memanjakannya. Ah, andai kau tahu Mei, bagaimana kakekmu dulu, mungkin kau sendiri tak mau mendekatinya, apalagi bergurau dengannya.
“Kek, kemarin papa bilang, kalau papa mau nyusul. Tapi kenapa belum datang juga ya?” Mei mengadu pada kakeknya.
Pria tua itu tersenyum mendengar aduan cucunya, “Papa Mei kan sibuk, mungkin tugas kantornya belum selesai. Nanti pasti datang.”
“Uh, kakek selalu aja belain papa,” ia runcingkan bibir mungilnya.
Nenek, paman, dan bibinya ikut tersenyum lebar menatap Mei.
“Iya, Mei, betul kata kakek, nanti papa pasti yusul,” timpal neneknya.
Mei geleng kepala, rambutnya yang terikat panjang bergoyang ke kanan ke kiri, “Ah, papa terus janji, Nek, waktu itu juga gitu, katanya mau nyusul tapi nggak pernah datang,” kata Mei lagi, “papa nggak sayang sama kakek, nggak kayak Mei, kalau Mei sayang kakek. Ya kan, Kek?”
Kini kakeknya tersenyum getir, “Papa Mei sayang kok sama kakek, nanti pasti datang papa Mei.”
“Ya, mudah-mudahan aja,” kata Mei bernada sok dewasa.
Beberapa menit kemudian, orangtua itu napasnya mulai sesak, ia meronta-ronta kesakitan. Penyakit jantungnya kambuh lagi. Semua keluarga yang ada di situ mulai sibuk. Ibu mencoba menenangkan dan membisiki kalimat tauhid di telinganya. Adik-adikku segera menghubungi dokter keluarga. Dan Nia sendiri menggendong Mei membawanya keluar dari kamar. Walaupun napasnya tersengal, ia berusaha menyebut nama Dimas, tak henti-hentinya ia melafadzkan nama itu.
Hapeku berdering, panggilan dari Nia masuk.
“Mas, ayah semakin parah penyakitnya. Datanglah, Mas, ayah selalu menyebut nama Mas. Ya Tuhan . . aku nggak tega, nggak tau lagi apa yang harus kubilang sama, Mas,” ucap mei dari seberang telepon.
Terdengar dari sini suara ibu menangis, air mataku mulai menetes, namun, aku masih diam. Di seberang telpon aku juga mendengar kepanikan di sana. Mei juga ikutan menangis.
“Mas . . Mas,” Nia terus memanggilku.
Sekarang suara di seberang telpon berganti.
“Dimas, pulanglah, Nak, ayah ingin jumpaimu, Nak. Mungkin terkahir kalinya, Nak,” ucap ibu dengan suaranya yang serak.
Di sini aku masih membatu, hening.
“Ayah mau bicara sekarang, tunggu sebentar,” kata ibu lagi.
Kudengar langkah kakinya yang tergopoh-gopoh.
“Dimas, maafin ayahmu, Nak, maafin ayah,” ucap pria itu terbata-bata.
Air mataku semakin deras mengalir dari pelupuk mata. Udara yang kuhirup pun sudah tak leluasa lagi. Suara kepanikan di sana semakin jelas kudengar. Aku masih diam. Kemudian tak ada lagi suara orangtua itu.
Hape itu pun kini berganti tangan, entah siapa lagi yang ingin bicara padaku.
“Papa, maafin kakek, maafin kakek Pa, kasihan kakek, Pa,” suara Mei merintih memohon diiringi isak tangisnya. Mei tak tahu maaf apa yang sebenarnya ia tujukan. Ia hanya membeo kakeknya.
“Ibu guru bilang, Pa, kita harus saling memaafkan, tanda kita udah dewasa,” ujar Mei tergugu menangis.
Aku mengangguk, meng-iyakan di dalam hati. Tangisan di seberang telepon semakin histeris, kudengar innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H