[caption caption="Foto Pantai Indrayanti/Pulang Syawal | AIJ"][/caption]
Ombak bergemuruh bergulung-gulung menghempas tepian pantai Pulang Syawal, buih putihnya meruak bagaikan soda yang tumpah dari langit. Gemintang kemerlipan di langit gelap, bercahayakan bulan sepasang anak manusia dalam dilema. Matanya sembab, berjam-jam dipaksa air mata duka diperas perasaan.
Indra dan Yanti saling menatap, tak berkata, tak sanggup suara kalimat untuk berbunyi. Indra berkali-kali mendongakkan dagunya pada mega, sementara Yanti hanya mampu sesunggukan menatap pria yang dicintainya.
Indra lembut berujar bersama desauan angin pantai, “Aku sudah nggak tahu harus berbuat apa lagi, jika memang itu pilihan ayahmu, biarlah aku mengalah. Aku akan pergi jauh. Biar kau tenang dengan pilihan ayahmu,” Indra berdiri, ucapnya lagi, “relakan aku. Ikhlaskan cinta kita, biarlah cinta kita kekal bersama samudera ini, di pantai ini. Tak menyatu bukan berarti kehilangan, kau akan selalu ada. Terbenam ke dalam dada.”
“Nggak, Indra, nggak …” suara Yanti serak keluar, tangannya menarik cepat lengan Indra, “kau nggak bisa pergi begitu saja. Aku hanya mencintaimu, aku milikmu. Bawalah aku pergi jauh, kemanapun kau mau. Aku akan setia menjadi istrimu, sekalipun nyawa kita di ujung samudera.”
“Kumohon, Yanti, dengarlah aku sekali ini saja. Sejak dulu sudah kubilang, cinta ini sulit untuk ditempuh. Kemiskinan selalu menyadarkanku, kita sungguh beda, Yanti,” Indra memohon, air matanya menitik deras.
Mendengar ucapan pasrah dari kekasih hatinya, wajah Yanti semakin merah, buas menatap bola mata Indra, “Jangan! Jangan kau ucapkan sekali lagi itu padaku, Indra. Dunia akhirat, tak kuizinkan siapapun merampas impian kita. Aku … Yanti, wanita yang paling mencintai dan dicintai bersumpah, apapun yang akan terjadi, aku akan tetap mencintaimu. Selamanya … selamanya.”
Deburan ombak meraung-meraung, ombak tinggi seperti gulungan perbukitan menghempas, angin kencang mendadak dari arah selatan. Kemerlipan bintang sirna seketika, awan tampak menggumpal menelan bulan. Terangnya semakin cepat meredup. Dan gelap seketika.
“Yanti, kenapa air laut tiba-tiba begini?” tanya Indra penuh keheranan. Lama dipandangi Indra pantai tempatnya bermain sejak anak-anak itu. Bersama teman-teman kecilnya, juga Yanti.
“Sudahlah, Indra! Kau jangan alihkan pembicaraan ini. Aku sungguh serius ingin bersamamu. Ayo bilang, kau akan membawaku pergi! Ayo bilang, Indra! Kumohon,” lutut Yanti jatuh di pasir lembut, genggamannya begitu erat di tangan Indra.
Indra menarik napas begitu dalam, “Oh Tuhan … kau memang keras kepala. Baiklah, kita lalui bersama.”