Pada umumnya di negeri ini, rakyat Indonesia memilih profesi sebagai karyawan di perusahaan. Memang terkadang bukan pilihan utama, bisa jadi pilihan kedua setelah gagalnya mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.
Profesi ini seperti budaya bangsa yang beratus-ratus tahun lalu menganut bekerja di perusahaan. Mungkin juga peninggalan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memaksa kerja putra-putri Indonesia untuk bekerja dengannya, masih mendarah daging di generasi berikutnya, dan sampai sekarang.
Jika kita terus menerapkan budaya “pekerja” di perusahan seperti ini terus, maka mau sampai kapan negara ini bisa menjadi negara yang maju? Dan mau sampai kapan pula bangsa ini bisa benar-benar sejahtera atas hasil usahanya sendiri?
Mohon maaf sebelumnya, bukan berarti tidak menghargai atau menyepelekan profesi karyawan di perusahaan. Sungguh, tidak ada niat seperti itu. Kita hanya ingin mencari solusi bersama, untuk kesejahteraan rakyat, dan kemajuan negara tercinta Indonesia.
Bulan Agustus adalah bulan puncak atas gelombang PHK (pemutus hubungan kerja) yang melanda negeri ini. Dan tidak menutup kemungkinan, bulan-bulan berikutnya jumlah karyawan yang di-PHK semakin banyak.
Tentu saja, itu bukan harapan kita bersama. Namun, kita juga harus membuka mata, pikiran, dan hati untuk menyikapi kebenaran yang terjadi akibat gejolak rupiah yang terus melemah.
Empat hari yang lalu, PHK besar-besaran menimpa buruh (karyawan) di 23 perusahaan yang ada di sebelas kabupaten/kota di Jateng.
Dilansir dari AntaraNews, "Melemahnya ekonomi hingga Agustus 2015 ini mengakibatkan 1.305 buruh dari sektor garmen, tekstil, dan plastik di-PHK karena bahan bakunya rata-rata masih diimpor," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Jawa Tengah Wika Bintang di Semarang, Kamis.
Ini bukti nyata “ancaman” serius bagi karyawan di seluruh Indonesia. Jika perekonomian kita belum (tidak) stabil, atau malah semakin buruk, bisa jadi gelombang PHK semakin parah dan merambat ke kota-kota lainnya.
Sekali lagi, tidak ada keburukan yang ingin kita harapkan. Tapi kita juga harus jeli dan gesit menanggapi kejadian di sekitar.
Kita bisa belajar dari krisis moneter pada tahun 1998 lalu. Ada yang harus diketahui, bahwa gejolak krismon 1998 tidak terlalu berefek bagi pelaku pebisnis, atau penggiat UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Sebabnya, mereka tidak terlalu bergantung kepada pemerintah dan perusahaan besar yang menancap di setiap kota besar Indonesia.