Facebook, sosial media yang paling diminati dan terpopuler di Indonesia bahkan di dunia sekalipun. Dan untuk di Indonesia sendiri, dari kota sampai ke kampung-kampung bisa diakses dengan cara yang sangat mudah, asalkan di daerah itu ada jaringan yang mendukung. Tidak harus mengaksesnya dengan gadget super canggih, hape murah yang dilengkapi aplikasi GPRS sekalipun bisa mengakses facebook.
Saya sangat yakin tanpa saya tuliskan pun keunggulan-keunggulan jejaring sosial yang didirikan Mark Zuckerberg ini, pembaca sudah mengetahuinya, bahkan mungkin pembaca yang lebih tahu karena online selama 24 jam, mungkin. Saya akui juga, kehidupan sehari-hari saya tak terlepas dari facebook. Kenapa demikian?
Tahun 2007 silam saya resmi membuat akun facebook. Pada saat itu saya belum menyadari untuk apa menggunakan facebook ini. Ya, karena kekurangan paham saya, facebook ini hanya saya jadikan media eksis saja. Kalau ada foto-foto yang baru, saya buat album foto di facebook itu. Sesekali bertegur sapa dengan teman lama melaui obrolan. Dan ini cukup penting, facebook bisa menyatukan kita dengan orang-orang yang selama ini yang tidak pernah kita jumpai lagi. Saya akui juga waktu itu saya sangat alay bin lebay, kalau nulis di status pake huruf kecil besar sampai yang baca status saya kebingungan, apa yang saya tulis. Tak hanya sampai di situ, facebook juga sebagai lampiasan media amarah saya. Kalau saya marah sama teman, sama kakak, sama siapapun itu, saya ungkapinnya di status facebook.
Mengingat itu semua betapa malunya saya dengan diri sendiri, tidak ada manfaatnya sama sekali, bahkan mengundang mudarat. Bertahun-tahun saya tidak bisa mengambil manfaat dari facebook ini, saya termasuk orang-orang yang merugi karena tidak mau berpikir bagaimana menggunakan facebook ini agar bermanfaat untuk saya dan oranglain. Dan sampai ketika saya mengenal halaman facebook Darwis Tere-liye, pada saat itu saya sangat sadar betapa meruginya saya selama ini.
Kira-kira beginilah yang ditulis Tere-liye di halaman facebooknya : Daripada menulis yang tidak jelas, menulis status di facebook karena berdasarkan suasana hati. Kalau lagi berantem sama pacar, marah-marahnya di status facebook. Kalau lagi bahagia sama pacar pamernya di status facebook, semua ditulis di facebook. Kan lebih baik dan kreatif lagi kalau ditulis di catatan harian. Bisa jadi kenang-kenangan, yang suatu hari nanti kita akan geli sendiri membacanya.
Tulisan ini seperti hidayah bagi saya dari Allah SWT melalui penulis terkenal Darwis Tere-liye. Sejak itu saya berpikir keras dan merenung, berjanji pada diri sendiri tidak akan menulis yang macam-macam lagi di facebook. Seiring waktu itu pula saya belajar menulis, dan berteman dengan penulis di Komunitas Bisa Menulis di facebook. Saya yakin jika berteman dengan penulis, lambat laun kita juga akan menjadi penulis. Seorang sahabat itu adalah guru yang tidak mengajarkan secara langsung. Saat ia melakukan kebaikan atau keburukan, kita cenderung mengikutinya.
Bahkan Nabi Muhammad SAW mempertegaskan lagi dalam sabdanya : “Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum, karena Kamu bisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium bau wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapat bau tak sedap”. (HR.Bukhari Dan Muslim).
Karena semangat dan kegigihan belajar menulis secara otodidak, tanpa saya sadari sendiri, tulisan-tulisan saya menuai respon positif dari teman-teman di facebook. Apakah ini seperti dakwah melalui tulisan di facebook atau apa? Saya sendiri masih bingung, karena saya sadar, agama saya belumlah baik. Tapi saya berprinsip menulis itu adalah menebar kebaikan hari ini, esok dan selama-lamanya. Walaupun saya bukan seorang ustadz, melainkan seorang pemuda biasa yang mau berpikir untuk kemajuan agama dan negara dengan apa yang saya bisa, yaitu menulis.
Saya terhanyut dalam dunia literasi dan sastra. Keuntungan suka menulis yang bisa saya rasakan adalah kecerdasan dan wawasan yang terus berkembang, karena dituntut untuk rajin membaca. Betapa pentingnya menulis dalam kehidupan ini, coba bayangkan saja jika sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW tidak menulis? Bagaiman kita akan mengenal Al-Quran sekarang ini. Dan bagaimana juga kita akan mengenal Al-hadis? Jika para sahabat tidak meriwayatkannya melalui tulisan.
Saydina Ali Bin Abi Thalib berpesan : “Ikatlah Ilmu dengan menulis”. Karena hanya dengan menulislah ilmu itu bisa diteruskan ke generasi berikutnya, dan diteruskan lagi sampai jauh-jauh hari, hingga akhirnya nikmat dan manfaat ilmu itu bisa kita rasakan sekarang. Dan tongkat estafet itu kita pegang saat ini, itu artinya kita harus menulis, menulis apa saja untuk kebaikan agama dan negera.
Tegakah kita menghentikan tongkat estafet itu di tangan kita? Kalau tega, itu tandanya kita tidak amanah. Karena kita adalah generasi yang akan melahirkan generasi-generasi Islam berikutnya. Melalui tulisan, tongkat estafet kita amanahkan lagi pada mereka, begitu seterusnya, sampai jauh-jauh hari nantinya, sampai pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H