Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kutukan Keluarga

10 Mei 2015   10:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:12 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14312573601977010835

[caption id="attachment_416471" align="aligncenter" width="583" caption="Ilustrasi | Foto: Widianto H. Didiet - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]

Rumah yang berjejer tidak terlalu rapi di gang itu mulai sepi. Gelap membungkus setiap rumah, hanya titik cahaya terang dari lilin yang menyala hampir padam oleh angin. Giliran aliran listrik memadamkan di daerah tempat tinggal mereka. Sebulan terakhir, Medan dilanda “Padam Listrik Bergilir”. Nama bulan yang berhujung er, Desember, menambah hening di tengah-tengah keluarga Mak Manik. Awan gelap menumpahkan airnya. Mendung duka keluarga semakin tebal, sepulang anak lakinya ke Rahmattullah sebulan lalu.

Mak manik, begitulah sapaan dari tetangga dan kerabatnya. Sebenarnya ibu yang mempunyai dua orang anak itu, bernama Rosalita Boru Damanik. Agar mudah memanggil nama beliau, para tetangga terbiasa memanggil Mak Manik. Mak manik sudah menjanda dua puluh tahun, selepas kepergian suaminya untuk selama-lamanya. Seorang dirilah ia menghidupi keluarga kecilnya, membanting tulang bekerja serabutan. Bekerja apa saja yang penting halal, itu prinsip hidup Mak Manik dalam kesehariannya.

Keluarga kandungnya tidak terlalu memperhatikan Mak Manik. Sekalipun keluarganya berkunjung, itu hanya sekadar tidak memutuskan tali keluarga saja. Selebihnya tidak. Keluarga Mak manik dikucilkan dari keluarga besar sejak memilih suaminya menjadi teman sehidup semati. Jonnary Damanik dan Rosalita Damanik, berikrar setia sehidup semati didepan penghulu. Pernikahan semarga mengantarkan mereka menuai kontra keluarga besar Damanik.

“Ingat ini, Ros! Kalau kau tetap menikah dengan Jon. Kau akan terus menderita, opung-opung leluhur kita tak akan meridhoi keluargamu kelak!” Mak manik teringat ucapan ayahnya, saat ia meninggalkan rumahnya. Kutukan itu terus membayanginya saat Mak Manik termenung meratapi nasibnya. Oh, Tuhan, mugkinkah ini takdirMu, atau kutukanMu, atau sumpah, atau juga kutukan-kutukan opung-opung kami? perasaanya berbisik.

Setelah Kau ambil suamiku dua puluh tahun lalu, anak laki satu-satunya kau ambil pula kini. Lantas, siapa lagi yang akan Kau ambil, hah?! Oh, Tuhan, ampuni hambaMu ini. Tak kuat lagi ia berdoa dalam hati.

“Mak,” kata anak gadisnya yang paling tua.

Panggilan anak gadisnya tak disahut, ia masih diam menatap kegelapan malam, sekalipun sesekali air tampias hujan memercik wajah keriputnya. Mak manik membatu.

“Mak,” panggilnya lagi.

Panggilan kedua kalinya pun tak ia sahuti, Mak Manik masih diam, berbicara sendiri kepada tuhanNya.

“Emak,” anak gadisnya mendekati, mengusap lembut bahu emaknya.

“Oh, iya-iya Nak. Kenapa kau, nak” mak Manik sedikit terkejut. Dan membalas lembut punggung telapak tangan anaknya. Namun kembali lagi menatap kosong di depannya.

Wajah gadis itu tampak khawatir, khawatir akan kesehatan emaknya, “Tidurlah lagi Mak, udah la rut malam ini. Udah jam sebelas sekarang,” ia membujuk emaknya.

Mak manik hanya mengangguk, namun tak juga beranjak, “Mana adekmu, udah tidur dia? Besok dia sekolah kan, udah kau bantu ngerjakan tugas-tugas sekolahnya?”ia menoleh pada anak gadisnya.

“Udah mak, udah kuajari dia mengerjakan PR-nya. Udah tidur pun lagi dia, sejak mati lampu tadi. Sekarang mamak tidur lagi ya?!” dibujuk lagi emaknya.

“Arrh, kau sajalah yang tidur! Mamakmu ini belum bisa tidur.”

“Kenapa, Mak? Kenapa lagi Emak nggak bisa tidur?”

“Entahlah, mamak juga nggak tau. Tapi mamak terkadang teringat ucapan opungmu itu.” Mak Manik mulai berterus terang perihal dirinya yang  selama ini banyak termenung.

Mendengar ucapan emaknya barusan, gadis itu mengambil kursi lalu duduk di sampingnya, merapatkan jeket dan menyilangkan tangan didepan dada. Udara semakin dingin.

“Nak, maafkan emakmu ini, maafkan emakmu yang nggak mau mendengarkan nasehat opung. Karena emakmu ini, anak-anak mamak semua menderita. Mungkin, mungkin juga karena emakmu ini, abangmu meninggal,” mata Mak manik berkaca-kaca, satu-dua  air matanya mulai menetes di pipi kendur yang keriput.

Gadisnya terkejut, matanya terbuka lebar, “Astagfirullah, kenapa Mamak bilang begitu? Aku bahagia, Mak. Kami semua anakmu bahagia terlahir dari rahimmu. Mamak, seorang wanita yang tangguh. Terbukti Mak, sekarang aku udah tamat kuliah, insya Allah, Mak, bulan depan aku kerja.”

“Benar itu,  Nak, tapi kau tau, Nak? Si abang meninggal mungkin karena kutukan-kutukan itu.” Mak manik menyeka air mata di pelupuk matanya.

“Kutukan?! Kutukan apa Mak?”

“Iya, Nak. Kutukan,”  ia mendongak, menatap langit-langit rumah, “ini adalah kutukan keluarga, kutukan nenek moyang kita. Emak ingat benar apa yang dibilang opungmu: Ingat ini Ros! Kalau kau tetap menikah dengan Jon, kau akan terus menderita, opung-opung leluhur kita tak akan meridhoi keluargamu kelak!. Itulah yang dibilang opungmu, waktu terakhir kalinya mamak meninggalkan rumah opung di kampung. Karena kau udah besar, Nak, mamak ceritakan samamu.” Ditatapnya gadis itu lamat-lamat, dielusnya pipinya dengan tangan Mak Manik yang kasar. Seorang wanita pekerja keras, ditandai dengan telapak tangannya yang kasar.

“Mak, maafkanlah sebelumnya anakmu ini. Maafkanlah kelantanganku ini, tak ada yang salah dengan mamak, tak salah juga almarhum ayah. Negara dan agama memperbolehkan Mamak dan almarhum menikah, itu tanda pernikahan yang sah. Kita hidup yang kekurangan, Ayah yang meninggal, bulan lalu abang yang meninggal. Itu udah suratan takdir, Allah yang berkehendak, rahasiaNya. Sungguh, Mak, kami anakmu bahagia mempunyai Mamak sepertimu,” gadis sulung itu memeluk emaknya.

Mak Manik hanya diam, lagi-lagi menatap langit rumahnya, sepertinya ia melihat TuhanNya di atas, “Entahlah, hamba ini terlalu lemah memahami hidup.”

Gadis itu berdiri, menutup pintu rumahnya, dan menggiring emaknya ke kamar. Emaknya menurut saja, mungkin Mak Manik terlalu letih memikirkan hidupnya. Kutukan keluarga yang terus timbul saat ia termenung. Tapi sukurlah, Tuhan melahirkan anak-anak yang cerdas dan paham arti kehidupan. Sekalipun terkadang Mak Manik ingin meronta-ronta betapa susahnya mengais rejeki, tapi ia berhasil mengantarkan gadis sulung menjadi Sarjana Pendidikan Islam di salah satu universitas Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun