Indonesia menempati urutan terendah dalam literasi masyarakat diantara negara-negara ASEAN. Bukti dari hal tersebut dengan mudahnya dapat kita lihat pada telepon genggam yang kita miliki. Jika anda mencoba membuka suatu konten yang viral di sosial media, dapat dipastikan terdapat komentar negatif maupun nyeleneh yang dibuat oleh para netizen di kolom komentar. Dengan ini, dapat dikatakan masyarakat cyber alias netizen di Indonesia dapat diberi gelar "ringan jari".
Pada hakikatnya, segala sesuatu yang kita ketikkan atau utarakan pada khalayak umum harus dapat dipertanggungjawabkan. Namun, tidak dengan netizen Indonesia. Mereka sangat cepat dalam mengutarakan pendapat mereka tentang suatu judul topik tanpa mengetahui apa isi yang disampaikan terlebih dahulu. Hal ini tentu saja dapat mengundang pertikaian pendapat dan menggiring opini negatif netizen lainnya. Pada beberapa kasus, opini negatif dan kebiasaan fomo para netizen Indonesia menyebabkan penyalahgunaan kata-kata trending yang tanpa disadari dapat merugikan pihak lain.
Tahun 2024 ini, sudah terjadi berbagai kasus nyeleneh yang dilakukan oleh para netizen Indonesia. Sebagaimana pada akhir bulan Maret lalu, kita digemparkan oleh kasus korupsi yang menyangkut nama dari salah satu selebritas tanah air. Netizen pun langsung berbondong-bondong mengutarakan ujaran kebencian yang ditujukan pada artis tersebut. Namun, minimnya literasi netizen mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman. Akun instagram milik sosok artis lain dengan nama yang mirip menjadi lapak dari bulan-bulanan ujaran kebencian netizen. Hal ini sangat disayangkan, karena kurangnya kebiasaan membaca ternyata dapat menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat.
Pada lebaran di awal April lalu, kita tidak asing dengan kata "shimmer-shimmer" yang ditujukan pada orang yang menggunakan pakaian yang bersifat shimmering alias memantulkan cahaya. Ini merupakan contoh dari kata-kata trending yang disalahgunakan dan menurunkan tingkat kepercayaan diri seseorang. Tidak ada yang salah dari pilihan fashion semua orang, namun trend buruk "shimmer-shimmer" telah membuat banyak dari masyarakat yang terlanjur membeli busana lebaran jenis tersebut enggan menggunakannya. Mereka khawatir akan dijadikan objek dari kebiasaan fomo para netizen yang turut diperlihatkan di kehidupan nyata, baik secara verbal maupun perekaman konten tanpa sepengetahuan mereka.
Tak hanya mencakup kesalahpahaman netizen, terkadang media pembuat berita pun dapat menambah kesan buruk pada kultur internet di Indonesia. Sebagaimana yang saya amati, semakin menarik suatu judul berita maka semakin ramai pula traffic pengunjung berita tersebut. Liputan berita suatu media pun seringkali memanfaatkan hal tersebut. Namun, beberapa kali saya temukan judul berita yang bertolak belakang dengan inti dari suatu topik permasalahan hanya demi mendapatkan perhatian lebih dari para netizen. Tentu saja hal ini dapat mengundang kontroversi yang berlebihan dan menggiring opini buruk netizen. Selain itu, pihak lain yang tidak seharusnya terlibat menjadi terkena imbas, baik maupun ataupun kerugian dari banyaknya netizen yang meramaikan lapak tersebut.
Sebagai citizen sekaligus netizen yang baik, alangkah baiknya jika kita membiasakan penggunaan sosial media dengan bijak. Pemilihan sumber informasi terpercaya dilakukan sebelum mencari suatu topik hangat yang ingin diketahui. Kebiasaan membaca judul dan isi dari suatu berita pun harus diterapkan untuk menghindari kesalahpahaman akan maksud atau arti yang disampaikan. Jika kita ingin memberikan reaksi atau umpan balik opini dari suatu topik, usahakan untuk menggunakan bahasa yang baik dan tidak bertolak belakang dengan sisi positif yang disampaikan dalam topik tersebut. Sikap acuh tak acuh terhadap perdebatan netizen yang hanya mengundang keributan pun dinilai sangat menguntungkan karena dapat menghemat waktu dari hal-hal yang tidak penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H