Saudaraku, perkenankan aku meminta maaf karena menyebutmu pahlawan, namun tak bisa melindungi.Meski berbagai slogan gempita menyambutmu di bandara: Selamat datang pahlawan devisa!
Pahlawan, sosok yang berhak menerima tanda jasa, karena keberanian, perjuangan dan pengorbanannya. Kenyataannya, dirimu jauh dari menerima perlakuan adil. Penderitaan sebagai TKI yang belum teratasi- setelah disiksa, tidak digaji, dianiaya, diperkosa, dan diusir- kini bertambah. Konon organmu pun diperjualbelikan.
Undang undang dasar Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya UUD mengamanatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menyediakan lapangan kerja dan kehidupan layak bagi rakyat.
Untungnya, tak banyak yang menyalahkan -apalagi protes- ketika pemerintah tidak mampu menjalankan kewajibannya. Meski keluhan tentang sulitnya mencari kerja, nyaris terdengar setiap hari.
Kondisi yang memaksa jutaan warga, meninggalkan orang-orang tercinta untuk bekerja di negeri asing. Tindakan yang mempermudah negara. Sebab TKI tidak hanya menghasilkan uang untuk keluarga, tetapi juga menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar.
Dengan peran seperti itu, tidakkah dirimu layak mendapat perlindungan dan pelayanan terbaik? Sedikitnya penghargaan sederhana?
Jika pemerintah menghargai TKI maka mereka akan melindungimu. Jika pemerintah melindungimu secara penuh, maka bangsa lain akan berhati-hati untuk berlaku zalim. Sebab mereka tahu, menindas TKI berarti berhadapan dengan Negara Indonesia.
Bahkan Israel rela membebaskan ribuan tawanan hanya untuk menebus satu tentara mereka yang ditahan Palestina. Sikap yang menguatkan moral tentaranya, karena percaya mereka akan selalu dibela. Atau Amerika yang gencar melindungi warganya yang terancam di luar negeri. Dalam peristiwa lain, presiden Filipina pada satu masa, secara langsung menyambut seorang tenaga kerja mereka yang pulang setelah disiksa di negara lain. Penghargaan, pembelaan dan perlindungan yang kami masih berhutang itu padamu.
Pernahkah kuceritakan, meski tak seperti yang kau alami, sedikit diskriminasi sebagai muslimah berjilbab, yang tanpa seragam haji atau umroh, oleh pihak luar sering dianggap TKI?
Di Hongkong usai memberikan workshop menulis kepada pekerja perempuan kita, petugas bandara menyuruhku berdiri di barisan TKI. Di Swiss, seorang petugas menuduhku mencari kerja, padahal aku menerima undangan untuk tinggal sebagai sastrawan tamu.
Bukan sepenuhnya salah mereka, sebab sambutan lebih tak bersahabat kuterima di tanah air. Dicegat dan dipaksa menunjukkan paspor ketika tiba di bandara Soetta, seraya disuruh ke terminal khusus TKI.
Sikap yang membuatku merenung. Di luar asal tuduh, jika untuk pendataan, bukankah seharusnya bisa dikomputerisasi dan dikordinasikan ke lembaga terkait, tanpa harus merepotkan TKI?
Lalu keharusan melaporkan uang yang dibawa ke petugas di terminal khusus, seperti ceritamu. Jika murni untuk pendataan, seharusnya ada cara lebih baik.
Pemerintah bisa membuat kebijakan yang melindungi, seperti mengarahkanmu ke kasir bank 24 jam (dari berbagai bank), untuk menyimpan hasil kerja keras bertahun-tahun, agar aman perjalananmu pulang ke kampung halaman.
Sosialisasikan, berdayakan para TKI jika belum mengerti perbankan. Benar dibutuhkan proses dan kesabaran, tetapi itu harga sebuah kepedulian. Sebagaimana sudah saatnya TKI diberi kebebasan memilih cara mereka pulang dari bandara tanpa ‘diharuskan’ naik travel dengan biaya fantastis, sekalipun sebagian dari mereka sudah dijemput pihak keluarga.
Betapa sedihnya ketika seorang saudari yang lama bekerja di luar, bercerita tentang bandara Soetta yang terasa seperti neraka bagi dia dan teman-teman.
“Tenaga kami sudah diperas di negeri orang, kenapa kami masih harus diperas di negeri sendiri, mbak?”
Menatap matanya yang berkilat, aku kehilangan kata-kata.
Ah, entah apa lagi yang bisa kusampaikan. Terbayang deret panjang kasus TKI yang belum juga tuntas. Begitu banyak duka.
Dan berita demi berita yang sampai kepada kami tentangmu, akhir-akhir ini, kembali menguras airmataku.
Saudaraku, Pahlawanku. Maafkan kami yang mengira, selembar amplop santunan kepada pihak keluarga setelah kematianmu, selalu cukup mewakili sepotong ucapan terima kasih, yang gagal kami persembahkan semasa hidupmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H