Empat belas tahun lalu, saat pertama kali berkenalan dengan hiruk-pikuk dunia pergerakan, selalu tercengang ketika terlibat dalam berbagai kesempatan untuk berdiskusi dengan para aktivis di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kendari. Diskusi tentang bagaimana Indonesia harus berubah. Bagaimana Indonesia agar keluar dari kungkungan kapitalisme. Begitu heroik sehingga melahirkan banyak inspirasi yang begitu jernih, kemauan tulus untuk berjuang bersama kaum proletariat. Lawan-Lawan-Lawan, Tunduk Tertindas atau Bangkita Melawan! Sangar kan? Jauh dalam pemikiran saya kala itu, cita ini sungguh mustahil untuk diperjuangkan. Setidaknya, hal itu masih terbukti hingga sekarang.
Saat saya berpijak, untuk tinggal dan melanjutkan cita-cita lama itu, sekarang, di Kota ini, Kendari, tidak ada lagi suara lantang yang dulu sering saya dengar. Mungkin ada, tapi tidak lagi menggema. Hilang di tengah belantara kapitalisme yang semakin kuat mencengkram. Apakah ini membuat kita pesimis dan kehilangan akal sehat untuk mulai mencari pembenaran seiring dengan makin melemahnya daya juang kita? Bukan hendak memvonis siapa-siapa, tapi gejala itu sangat kasat mata. Pengaruhnya begitu kuat, termasuk kepada diri saya. Tapi saya terus berupaya untuk bertahan. Sekuat yang saya bisa. Mungkin sudah saatnya kita kembali memutar memori empat belas tahun silam dan beberapa tahun sesudahnya. Ketika semangat muda itu begitu membara.
Pengalaman panjang menjadi aktivis, hidup dalam situasi yang serba susah, seharusnya membuat kita berkembang dan makin kuat. Bahwa sampai saat ini, dengan izin Allah kita masih mampu bertahan.
Kendari, 5 Agustus 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H