Mohon tunggu...
Abdus Saleh Radai
Abdus Saleh Radai Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dakwah Nusantara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Majelis Dakwah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah (MADINAH)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Ramadlan Secara Lahir dan Batin

6 April 2022   14:49 Diperbarui: 6 April 2022   14:52 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH. Agus Salim HS, Rois Idaroh Syu'biyah Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu'tabaroh An Nahdliyah (JATMAN)

Menurut Rois Idaroh Syu’biyah Jam'iyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyah (JATMAN) KH. Agus Salim HS, Ibadah puasa merupakan amaliah ibadah yang sudah lama ada, sebelum perintah syariat puasa ramadlan pada masa kerasulan Muhammad SAW. Dalam arkanul Islam, ibadah puasa menempati urutan ketiga setelah syahadat dan mendirikan shalat.

Sebelum masa Rasulallah SAW, nabi Musa ‘alaihissalam melalukan puasa selama 40 hari meski tidak ada ketentuan dalam kitab Zabur dan Injil. Sampai saat ini kaum yahudi tetap mengerjakan puasa meskipun tidak ada ketentuan khusus dalam kitab mereka, seperti puasa selama seminggu untuk mengenang kehancuran Jerusalem, puasa hari kesepuluh pada bulan tujuh menurut perhitungan mereka dan berpuasa sampai malam.

Menurut Ibn Kasir, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak tercela.

Ibadah puasa mempunyai dua tantangan yang sangat berat, sehingga menyebakan orang yang berpuasa hanya akan terjerumus dan terjebak pada haus dan lapar saja.

“Jika seorang yang berpuasa tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, yaitu nafsu faraj (birahi) dan nafsu lapar. Maka puasanya akan sia-sia dan kosong,” Kiai Agus menjelaskan.

Dengan mengutip Kitab Ihya Ulumiddin Karya Imam Al Ghazali, Kiai Agus, menjelaskan pengtingnya puasa lahir dan batin (dzahiran wa batinan). Puasa itu memiliki dua dimensi yaitu, demenis lahir dan batin.

Puasa lahir adalah puasa dengan standar ilmu fikih (ilmu syariat) bagi orang awam, sedangkan puasa batin adalah puasa dengan standar ilmu hakikat (ilmu mengolah hati atau dikenal dengan ilmu tasawuf) bagi orang khusus. Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, bab keterangan tentang puasa, Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan ada syarat untuk menjalani puasa Ramadlan secara lahir, dan syarat untuk menjalani puasa Ramadlan secara batin.

Jadi untuk terpenuhinya syarat puasa lahir adalah dengan menjalankan aspek syariat tentang puasa, seperti berniat, tidak makan dan minum, khusus bagi anak remaja (belum nikah) hindari onani dan masturbasi, tidak berhubungan suami-istri di siang hari dan lain sebagainya.

Sementara untuk mendapatkan derajat puasa secara batin harus niat puasanya karena Allah, mengendalikan nafsu-nafsu yang ada dalam organ tubuh, munajat dan dzikrullah, dan terus memelihari takwa kepada Allah SWT. (ASR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun