Ibu, dalam bahagiaku kuteringat dirimu. Apa kabarmu hari ini? Masihkah engkau sering duduk termenung di sudut ruang itu? Mencoba membunuh sepi dan mengikis segunung rindu pada anak-anakmu juga putra putri kecil yang engkau sebut cucu?
Ibu, dalam sedihku kuteringat padamu. Perempuan paruh baya yang kini tak tangguh lagi, tak tangkas lagi seperti kau membimbingku waktu kecil dulu.
Ibu, sepi telah merubah rindumu menjadi sakit. Anak-anak yang kau sayangi makin jauh meninggalkanmu ketika batang usiamu semakin meninggi. Semuanya menjauh mengikuti takdir yang bernama jodoh.
Ibu, dalam sepimu engkau merintih. Bukan rintihan kesakitan yang membuatmu lemah tapi rintihan kerinduan dan kehilangan sebagai orang yang ditinggal jauh.
Ibu, kau hanya mampu menatap lama bocah-bocah lugu dalam lembar foto usang, Â juga foto tiga pernikahan yang membuatmu terharu dan bahagia menjadi satu dan dengan mata berkaca-kaca kau menutup semua album foto itu.
Ibu, meski aku dan dua perempuanmu tak sepenuhnya milikmu lagi, kami akan selalu mendoakanmu dan membagi kabar meski hanya lewat suara.
Ibu, hapuslah air matamu. Jangan biarkan sakit itu menggerogotimu. Bukan maksud hati meninggalkanmu dalam sepi apalagi tak ingin merawatmu.
Ibu, tiga perempuanmu butuh doamu sebab doamu adalah kekuatan bagiku dan dua perempuanmu. Semoga biduk pernikahan ini berjalan tenang dalam lautan kehidupan yang penuh dengan gelombang bersama dengan seorang nahkoda yang aku sebut dengan nama suami.
http://pondokcerpenku.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H