Belum lama ini di Indonesia digemparkan dengan adanya suatu dakwah yang berisi fitnah dan sara oleh salah seorang yang mengklaim dirinya sebagai mubaligh. Menariknya, dalam hal fitnah ataupun memainkan sara, pengaku mubaligh tersebut mengklaim sangat benar karena mencantumkan ayat Alquran dan Hadits. Lantas, apakah di dalam Islam, apabila sudah mengopi-paste ayat ataupun hadits itu pernyataannya benar-benar shoheh? Atau setidaknya tidak ada kekeliruan di dalamnya?
Ayat Alquran tidak ada yang salah di dalamnya. Sehingga membaca ataupun mengutip ayat Alquran tentunya tidak salah. Hanya saja, ketika akan menggunakan ayat Alquran untuk membenarkan suatu hal, sudah suatu yang niscaya untuk menggunakan pikirannya secara jernih.
Pikiran ini digunakan di dalam menilai masalah yang ada sekaligus dalam memahami ayat Alquran. Karena bila tidak, maka ayat Alquran yang benar bisa menjadi alat untuk membenarkan suatu perkara yang sebenarnya salah. Bila demikian, bukan mengutip ayatnya yang salah, tetapi kekeliruan dalam memahami ayat dan konteksnya.
Perumpamaan Kasus
Pergi ke masjid, misalnya. Ke masjid tidaklah keliru, tetapi bila kehadirannya ke masjid justru meninggalkan kewajibannya, semisal ada suami yang seharusnya mencari nafkah untuk keluarganya namun waktunya justru dihabiskan untuk ke masjid, maka kedatangannya ke masjid menjadi tidak benar. Karena, melaksanakan tugas sebagai suami hukumnya wajib, tuntutannya lebih tinggi dari datang ke masjid.
Misal yang lain, melaksanakan umroh saat masih ada tetangganya yang miskin. Miskin dalam perpekstif Islam; tidak terpenuhinya salah satu atau semuanya dari kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan.
Melaksanakan umroh memang baik, sunah. Tetapi bila masih ada tetangganya yang hidup dalam kondisi miskin, bila menjalankan umrohnya menggunakan biaya yang bisa dialokasikan untuk tetangganya maka keberangkatan umrohnya menjadi tidak dibenarkan. Meskipun orang yang umroh tersebut sudah menunaikan kewajiban pribadinya seperti zakat. Karena, walaupun fardhu 'ain sudah ditunaikan, tetapi masih ada kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Mengingat, dengan ditunaikannya fardhu 'ain namun masih ada tetangganya yang terjerat kemiskinan.
Apabila kondisi tetangga atau masyarakatnya masih ada yang seperti itu (miskin) tetapi tetap melaksanakan umroh, hukum berangkat umrohnya bukan lagi sunah, namun menjadi haram. Sehingga, ibadah umrohnya bukan hanya tidak diterima, melainkan juga melakukan perbuatan haram memiliki konsekwensi berdosa.
Dengan demikian, apabila kondisinya seperti kedua perumpamaan di atas, berangkat ke masjid dan beribadah umroh, berpijak dengan dalil naqli sebagai pembenaran menjadi tidak tepat. Melalui kedua perumpamaan tersebut, bukan dalilnya yang salah tetapi dalam hal memahami konteks yang ada.
Perlunya memikirkan ayat dan konteks, ditegaskan di dalam firman Allah SWT (QS. Muhammad [4]:82):