Sudah tidak asing lagi bagi setiap orang mendengar suatu istilah yang di belakangnya dibubuhi kata "Islam atau islami". Selintas, kedengarannya terkesan sopan dan istilah tersebut seolah benar-benar Islam, sehingga di negara mayoritas beragama Islam ini diterima begitu saja tanpa pikir-pikir oleh sebagian umat Islam. Serunya lagi, istilah menarik tersebut juga banyak dipopulerkan oleh kalangan pebisnis dan politisi. Namun demikian, apakah dengan adanya penambahan "islami" dalam membuat suatu istilah, lantas benar-benar Islam? Jawabanya sangat sederhana, "Bisa iya dan bisa juga tidak. Namun lebih cenderung kepada tidak".
Istilah yang menggunakan embel-embel Islam atau islami, misalnya, Islam KTP, jurnalisme Islam, Bank Islam, pendidikan islami, sejarah islami, cerita islami, dan lain sebagainya. Istilah yang demikian kurang pas, karena pada dasarnya segala sesuatu yang terkait dengan ibadah ghoiru mahdhoh, semisal hubungan antar manusia, makhluk yang lain dan alam, itu sudah islami selama tidak keluar dari apa yang disyariahkan oleh Allah Swt. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Qs. Al-Anbiya: 107:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam"
Melihat ayat di atas, sudah cukup jelas, bahwasanya Islam merupakan rahmat bagi semesta alam, sehingga tatkala suatu hal atau apapun jua jika telah menerapkan yang demikian tentulah dengan sendirinya sudah islami. Sebaliknya, apabila membuat sebuah peristilahan yang menggunakan embel-embel Islam atau islami, namun itu justru membuat batasan-batasan dalam sosial, yang seolah jikalau tanpa ada embel-embel itu dikesankan kurang islami, terlebih diklaim tidak islami, maka menggunakan embel-embel itu sangatlah tidaklah islami, terlebih lagi tanpa diikuti dengan tawaran yang jelas.
Kesan yang demikian dapat dirasakan seperti dengan istilah jurnalisme Islam, pendidikan Islam, lalu yang menggunakan istilah yang demikian merasa sudah sangat islami sehingga apabila tidak ada embel-embelnya dikatakan sekuler hingga bukan Islam, padahal dalam realitasnya dalam menerapkan istilah tersebut tidak jauh beda dengan yang lain. Jurnalisme ataupun pendidikan yang tidak mengatasnamakan islami, misalnya, pun menerapkan prinsip-prinsip kejujuran, totalitas, tanggung jawab, dan laninnya, apakah itu bukan islami?
Kembali sebagaimana yang dikatakan ayat di atas, mengenai tujuan syariat di antaranya adalah melindungi agama (dien), melindungi jiwa (nafs) atau kehidupan, melindungi akal (aql), melindungiketurunan (nasl), dan melindungi harta (maal).
Sekedar mengisi sahur, alangkah indahnya apabila keadaan yang sudah baik tidak diperunyam atau dipersulit dengan istilah-istilah baru, khususnya menggunakan agama, karena yang demikian justru bisa membawa masalah baru. Tentunya, konsekwensi yang demikian tidaklah ringan. Apakah pernah mendengar, tatkala Rasulullah melihat seseorang melakukan perbuatan baik kemudian dikata tidak islami seperti semisal sekuler!? Wallahuaa,lam bishowab. Shodaqallahul adzim....
Iseng-iseng ba'da sahur, gembel jalanan, Wahyu NH. Aly
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H