Mohon tunggu...
Wahyu NH Aly
Wahyu NH Aly Mohon Tunggu... lainnya -

Wahyu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Ateis Liberal Vs Ateis Fundamental

22 Juli 2010   16:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Suplemen Keakuran)

*

Esei Jalanan

__________

[caption id="attachment_201858" align="alignleft" width="295" caption="ATEIS"][/caption]

Era moderen sekarang telah menjadikan informasi begitu cepat. Sehingga bisa mendengar adanya "perlombaan" keluar dari agama di pelbagai negara. Fenomena ini, konon, karena di antaranya anggapan agama hanya menjadikan perselisihan dan permusuhan. Sehingga setiap ada peristiwa mengiris kemanusiaan selalu dikait-kaitkan dengan ajaran agama. Bukti di antara sumber perselisihan antar umat beragama, di antaranya adalah konsep keselamatan dan pandangan saling menyesatkan dari masing-masing agama. Dengan kata lain, pengakuan kebenaran hanya di satu agama itulah yang kemudian menjadi latar belakang kenapa antar agama tidak bisa akur, sehingga menjadi pemicu konflik dalam diri penganutnya. Kalau benar demikian alasannya, maka betapa lugunya alasan pilihannya keluar dari agama. Karena dengan alasan yang seperti itu, maka telah terbesit sebuah pandangan negatif terhadap orang beragama. Namun selama itu hanya sebagai sebuah pilihan, maka tidaklah termasuk suatu penodaan.

Pilihan tidak beragama oleh masing-masing orang, merupakan hak personal yang tidak bisa dianggap sebuah kejahatan. Pilihan adalah sebuah konsekwensi karena adanya warna-warni kehidupan.

Tentunya, pilihan keluar dari agama itu menjadi tidak bisa ditolelir, apabila kemudian mencaci maki agama yang pernah dianutnya maupun agama yang lain, karena itu telah masuk ke wilayah intervensi sekaligus penghinaan. Jikalau demikian kondisinya, maka bukan karena pilihan keluarnya yang dipermasalahkan, akan tetapi perilaku yang merusak keharmonisan sosial itulah yang dimintai pertanggungjawabannya. Mestinya, dengan pilihan tak beragama karena menganggap agama adalah sumber konflik, maka dirinya akan memosisikan netral, bukannya melakukan intervensi apalagi menghina suatu agama. Karena inti dari alasannya adalah perdamaian.

Fenomena marak keluar dari agama, kini kemudian banyak yang membuat pengakuan dirinya seorang ateis dan ateisme. Sepertinya ateis dan ateisme kini mulai menjadi pilihan trendy bagi manusia sekarang. Melalui ateis dan ateisme seolah perdamaian dan kemanusiaan akan terwujud. Sehingga banyak orang yang kemudian bertanya-tanya, sesungguhnya ateis dan ateisme itu apa, dan bagaimana tawaran dari ateis dan ateisme, sehingga banyak orang merasa bergengsi dengan pilihan tersebut? Namun pada sisi lain, ateis maupun ateisme di kalangan pemikir justru masih menjadi suatu pembahasan yang belum tuntas. Perbedaan pengertian ateis ataupun ateisme di antara pemikir belum menemukan titik kesepakatan. Dengan demikian, kenyataan ini menjadi sangat menarik, karena ada perlombaan "bergengsi" meraih sesuatu yang belum berwujud, baik dalam bentuk pengertian kebahasaan apalagi konsep.

Dari sinilah, sehingga kemudian saya memberanikan diri untuk ikut berkecimpung memberikan peristilahan atas ateis sekaligus ateisme, yang tidak menutup kemungkinan banyak perbedaan dengan para pemikir yang ada. Saya akan mencoba menjelaskan mengenai perbedaan istilah ateis dan ateisme dengan gaya pemaparan yang sebisa mungkin meminimalisir penggunaan kata-kata akademis (ilmiah)….

Ateis

Sebelumnya, saya juga pernah menulis yang menyinggung sedikit mmengenai ateis di Kompasiana ini, dengan linknya silahkan klik "Benarkah Tuhan Ada?". Namun demikian, saya akan mencoba menjelaskan sedikit lebih panjang. Ateis adalah orang yang tidak percaya terhadap pencipta (Tuhan). Tidak memiliki kepercayaan atas pencipta di sini adalah bersifat orisinal, yang bukan karena pemaksaan diri, ataupun intervensi dari luar. Kealamian ini, karena seorang yang ateis dalam memandang apapun hanya berdasarkan pada realitas empirik. Karena itu, keateisan bersifat subjektif, yang tidak mengenal pemahaman tentang ketuhanan. Dengan demikian, keateisan bukanlah kehendak, karena kehendak adalah suatu pilihan, yang sebelumnya telah mengenal adanya konsep penciptaan namun menolak karena pelbagai hal. Apabila keateisan menjadi pilihan, maka orang tersebut bukanlah seorang yang ateis, namun sudah masuk ke wilayah ateisme. Mengenai ateisme, nanti akan dijelaskan lebih lanjut.

Seseorang yang ateis, dia bisa saja masuk ke suatu agama ataupun lepas dari suatu agama tertentu, karena keateisan itu sebagaimana yang telah dijelaskan, yaitu bersifat internal seseorang. Ateis juga tidak mesti menolak secara total ajaran agama, karena bisa saja ateis itu menerima suatu tawaran yang ada di suatu agama, namun dinilainya bukan dari kepercayaannya terhadap Tuhan, melainkan dari sudut kesesuaian kenyataan-pengalaman pribadinya. Dengan demikian, ateis ini dikategorikan menjadi dua yakni, ateis fundamental dan ateis liberal.

Ateis Fundamental vs Ateis Liberal

Ateis Fundamental

Pelbagai masalah dan konflik yang terjadi di masa sekarang, seperti isu kebencian, teror, keekstriman, sering dicap sebagai cara dan langkah fundamentalis. Semua itu seolah sebagai padanan makna. Hal ini dikarenakan kuatnya hegemoni dari kalangan elit akademik, politisi, dan media massa dalam menyebarkan istilah-istilah tersebut. Menariknya lagi, setelah dibuat pengutuban semacam ini, kemudian gerakan fundamentalis selalu diidentikan dengan suatu agama tertentu. Padahal, semestinya manakala mendapati fenomena yang demikian harus ditinjau yang bukan saja dari gejalanya, akan tetapi yang lebih penting dan mengena yaitu sebab kemunculannya. Dengan demikian, diperlukan suatu langkah objektif seperti cara berfikir yang moderat dan tanpa kepentingan. Oleh karena itu, dengan berangkat dari sini, maka sedikit dilacak secara geneologis terhadap akar kata dan pengertian fundamentalis. Namun demikian, di sini tidak dijelaskan ihwal kemunculannnya, mengingat yang membahas ini sudah banyak.

Mengingat beragamnya interpretasi mengenai term fundamental oleh berbagai kalangan sehingga membuat perbedaan perpekstif misalnya, kecenderungan pihak yang hanya pada wilayah doktrin suatu kepercayaan tertentu, pihak yang lebih menitikberatkan aspek social, pihak yang berkutat pada politik saja, maka di sini akan ditinjau ulang dengan menelisik dari sudut kebahasaan. Mengembalikan pemaknaan ini ke wilayah bahasa, agar kesimpangsiuran yang ada menjadi renyah untuk ditelusuri. Fundamental secara kebahasaan merupakan kata sifat dari fundamen (lihat: KBI, Pusat Bahasa, tahun 2008, hal. 420), yang berarti bersifat dasar (pokok). Menggunakan pengertian yang lain, fundamental adalah bersifat alami (naturalistik). Dengan demikian, fundamental merupakan taukid (penegas) dari kata sebelumnya, akan kemurniannya, keasliannya.

Melalui kebahasaan, berarti ateis fundamental bisa dipahami sebagai ateis yang murni, yang masih terisolir oleh suatu pemahaman kepercayaan ketuhanan apapun. Terisolir di sini bisa dikarenakan factor peradaban, kurangnya menyerap suatu informasi perihal kepercayaan, atau hal-hal yang bersifat alamiah lainnya. Maka, seorang ateis fundamental, tidaklah mengetahui baik sedikit ataukah banyak seputar kepercayaan ketuhanan baik di dalam maupun di luar dirinya.

Sebagai tambahan, mengenai pengertian fundamental ini sangatlah berbeda dengan konservatif. Perbedaannya terletak bahwasanya fundamental sama sekali tidak mendengar maupun mengenal selain apa yang dikenalnya, sedangkan konservatif minimal telah mendengarnya namun menolak secara total tanpa ada pengenalan lebih lanjut terhadap apa yang dikenalnya. Dengan demikian, ateis fundamental adalah ateis yang sama sekali belum besntuhan dengan konsep penciptaan apapun, sedangkan ateis konservatif itu sudah mengatahui, minimal namanya, namun menolaknya tanpa melakukan pengenalan lebih dekat. Dengan demikian, ateis konservatif tidak bisa lagi dianggap sebagai ateis, karena tidak lagi murni atau telah bercampur dengan adanya suatu konsep ketuhanan.

Ateis Liberal

Untuk tentang ateis liberal, sebelumnya akan dijelaskan pemaknaan atas liberal terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan memahami ateis liberal yang dimaksud di sini.

Apabila ditinjau melalui Kamus Bahasa Indonesia (KBI) yang diterbitkan oleh Pusat bahasa di Jakarta, tahun 2008, hal. 857, liberal merupakan kata benda, sedangkan kata sifatnya yaitu liberalistis. Berarti, apabila disandingkan dengan fundamental yang merupakan kata sifat, dengan kata bendanya fundamen (KBI, 2008, hal 420, kedudukan antara liberal dan fundamental berbeda. Akan tetapi, apabila ditinjau kelanjutannya, seperti penambahan "isasi" yang memiliki makna proses (baca: fundamentalisasi dan liberalisasi), penambahan "isme" yang berarti paham (baca: fundamentalisme dan liberalisme), dan pembendaan sebagai subjek dengan tambahan "S" (baca: fundamentalis dan liberalis), menurut hemat saya antara liberal dan fundamental adalah sama. Ini juga ditegaskan di KBI, dengan menjelaskan liberal adalah sifat yang condong kepada kebebasan. Alhasil, yang saya maksudkan mengenai liberal dan fundamental di sini adalah memiliki kedudukan sama, yang berarti tidak perlu lagi dipertentangkan setelah melalui penjelasan ini.

Sebagaimana yang dijelaskan pada alinea di atas, liberal adalah sifat yang cenderung kepada kebebasan atau berpandangan bebas (luas dan terbuka). Maka ateis liberal adalah ateis yang mengenal suatu konsep penciptaan dan mau mendalaminya. Ateis liberal, baik masuk kedalam suatu agama maupun ireligius (tanpa agama), akan berusaha memahami suatu kepercayaan apapun secara intens dan menyeluruh, serta tidak akan mengeritik suatu kepercayaan atau agama apapun.

[caption id="attachment_201861" align="alignright" width="298" caption="ATEISME"][/caption]

Ateisme

Ateisme merupakan suatu idiologi, paham, ajaran, atau pilihan ateis. Adanya ateisme adalah karena suatu kondisi dimana seseorang (individu atau kelompok) menolak konsep ketuhanan yang ada di dalam agama-agama. Maksudnya, apabila ateis itu bersifat alamiah, namun tidak dengan ateisme yang telah melakukan kajian secara mendalam mengenai ketuhanan dengan apa yang ditawarkan oleh agama-agama sekaligus menelisik melalui instrumen alam atau yang ada, baik dengan cara deduksi ataupun induksi. Dengan demikian, ateisme mampu menjelaskan secara baik dan ilmiah akan adanya suatu kejadian yang tidak terduga, semisal suatu pertemuan, terjadinya alam, munculnya makhluk hidup, dan seterusnya. Tentunya, ateisme tidak akan menyimpulkan bahwasanya itu kebetulan, karena statemen tersebut tidaklah masuk akal atau tidak ilmiah. Kesimpulan ateisme atas semua itu, saya pribadi belum mengetahuinya, dan alangkah baiknya menanyakan pada pihak ateisme.

Apabila ada seseorang yang mengaku ateisme, namun tidak bisa menjelaskan konsep penciptaan secara ilmiah, maka orang tersebut tidak bisa dikatakan ateisme, melainkan masih sebagai ateis, atau bahkan bisa jadi agnotisme. Agnotisme yaitu, suatu paham, ajaran, atau pilihan tidak percaya terhadap pencipta, karena kelemahan akal dalam memahami itu, sehingga menjadikannya skeptis.

* Sampai hari ini, saya tidak pernah mendengar ada ateisme seperti yang saya maksudkan. Lalu, mereka ada di mana???

Kesimpulan Ateis fundamental, Ateis Liberal dan Ateisme

1) Ateis fundamental dan ateis liberal sama-sama ada secara alamiah dalam dirinya sendiri, tanpa ada hal-hal yang bersifat mengintervensi atau memaksa, baik dari luar maupun dari dalam dirinya.

2) Ateis fundamental belum sedikitpun mengenal suatu kepercayaan apapun, sedangkan ateis liberal sudah akan tetapi tidak integral dan tidak intens.

3) Karena ateis liberal telah sedikit mengetahui ada suatu kepercayaan, sehingga akan melakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh. Akan tetapi, kajiannya belum mencapai suatu kesimpulan. Hasil dari ateis liberal yaitu ada dua kemungkinan, pertama, akan memilih ateis (ateisme), dan kedua, memilih tidak lagi ateis dengan menerima adanya Tuhan (Pencipta).

4) Adapun ateisme merupakan bagian dari ending ateis liberal, yaitu suatu pilihan setelah melakukan kajian keberadaan terhadap pencipta (Tuhan), dengan menyimpulkan secara ilmiah bahwasanya pencipta (Tuhan) tidaklah ada.

5) Ateis fundamental tidak mungkin ada di dalam agama, karena sama sekali belum mengenal suatu kepercayaan atau agama apapun dan ateis liberal bisa saja masuk disebuah agama namun tidak memiliki kepercayaan terhadap pencipta. Adapun ateisme bisa saja memiliki pilihan masuk ke suatu agama tertentu, namun sudah memiliki pilihan untuk tidak mempercayai pencipta.

6) Ateis dengan ireligius (tidak beragama) adalah berbeda. Ateis tidak mengenal Tuhan, tapi bisa saja ada di dalam suatu agama, yang disebut dengan ateis liberal. Sedangkan ireligius (tidak beragama), bisa saja mempercayai pencipta (Tuhan), tapi menolak dengan kepercayaan atau agama yang ada.

_________________________________________

Pertanyaan:

* Benarkah ada ateis seperti yang dimaksud di atas. Jangan-jangan yang ada hanya ateis-ateisan, yang pada dasarnya (dalam lubuk hatinya) menanyakan atau bahkan mempercayai Tuhan, namun memaksa dirinya menolak...?

_______________________________________

Bersambung...

_______________________________________

Saya hanyalah pemuda jalanan yang terbebas dari kungkungan kehingarbingaran politis, sehingga mungkin banyak pemikiran saya yang berbeda dengan para "guru bangsa" dan para "pemikir kebebasan". Namun demikian, sangat terbuka pemikiran saya melampui mereka, karena ada satu, dua, tiga, dan/atau banyak hal lain. Anda boleh menertawakan "lelucon" saya, namun kenyataan akan menampar tertawa Anda…. (Just Kidding of Pemuda Jalanan)

***

Salam dari pemuda jalanan yang pernah melewati lorong atheis liberal….

Salam cerdas, aktif dan kreatif….

Wahyu NH. Al_Aly

(Pemuda Jalanan)

____________________________________________

Nantikan postingan selanjutnya, yang terkait dengan tema di atas yaitu:

1) Agama dan Kepercayaan. Judul ini di antaranya akan menjawab secara tuntas pertanyaan:

Benarkah pengakuan yang paling benar dari masing-masing agama dengan saling menyesatkan antara agama-agama adalah penyebab ketidakmungkinan (kemustahilan) terwujudnya sebuah toleransi total antar agama??? Dengan pertanyaan lain yang serupa makna, benarkah perbedaan dalam masing-masing agama tentang konsep keselamatan dan konsep kesesatan adalah penyebab kemustahilan terwujudnya toleransi total???

2) Polemik antara Haram dan Dosa dalam Islam. Judul iniakan mengupas dengan terperinci mengenai perbedaan antara haram dan dosa, sehingga simpang siur akan pemahaman terhadap haram dan dosa bisa dipahami secara bijak. Tulisan ini lahir setelah membaca postingan-postingan di Kompasiana yang sepertinya masih bertanya-tanya mengenai, "Apa sebenarnya itu haram dan dosa, atau barangkali keduanya sama?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun